Ada tiga macam hubungan hukum yang terdapat dalam perkawinan. Pertama adalah hubungan hukum secara pribadi antara suami dan istri. Kedua, hubungan hukum antara suami dan istri di satu pihak dengan anak dan keturunannya di pihak lain. Hubungan ini melahirkan antara hak alimentasi dan hak waris. Ketiga, hubungan hukum dalam harta kekayaan suami istri yang dapat dikaitkan dengan pihak ketiga (debitur atau kreditur).
Ninik Darmini, S.H., M.Hum, staf pengajar Fakultas Hukum UGM, berpendapat hukum antara suami istri tercermin adanya hak dan kewajiban masing-masing pihak baik dalam hubungan eksternal (obligation) maupun internal (contribution). Suami, secara eksternal selalu dapat dipertanggungjawabkan terhadap hutang-hutang persatuan, sedangkan secara internal suami istri dapat memperhitungkan apa yang telah dipertanggungjawabkan suami kepada pihak ketiga.
“Kejelasan jenis dan peruntukan harta dalam keluarga selain dapat memberikan kenyamanan para pihak dalam rumah tangga, juga dapat meminimalkan risiko yang muncul sebagai akibat hubungan dengan pihak ketiga,” ujar Ninik Darmini dalam ujiannya meraih gelar doktor di Fakultas Hukum UGM, Senin (21/1).
Menurut Ninik, pengelolaan harta dalam perkawinan telah diatur oleh undang-undang, tetapi dalam praktiknya ketika menyentuh hal-hal yang sifatnya emosional, seperti rasa berbela atas keterpurukan pasangan sehingga merasa wajib ikut serta memikul beban maka ketentuan-ketentuan formal yang bertujuan untuk melindungi suami dan istri seperti terlemahkan. Fenomena yang terjadi dalam masyarakat bahwa kejelasan bentuk harta dalam perkawinan belum terlalu menjadi perhatian untuk pengisian dokumen-dokumen, baik di lapangan hukum publik maupun lapangan hukum perdata seperti dalam perjanjian hutang-piutang maupun aplikasi kredit perbankan, dokumen perjanjian penjaminan dan sebagainya.
“UUP merupakan ketentuan hukum positif yang berlaku saat ini. Beberapa pasal dalam UUP yang mengatur tentang harta dalam perkawinan adalah pasal 35, 36, 37 dalam hal suami istri tidak mengadakan perjanjian kawin, sedangkan apabila suami istri mengadakan perjanjian kawin diatur dalam pasal 29 ayat 1, 2, 3 dan 4,” katanya.
Ninik menyebut akibat hukum dari tidak dicantumkannya pilihan bentuk harta dalam perkawinan pada dokumen perjanjian kredit serta penjaminanya terhadap harta bersama maupun harta pribadi suami istri dalam perkawinan adalah adanya variasi pertanggunjawaban Nasabah Debitur dan pasangangan kawinnya terhadap Pihak Ketiga (Bank). Sedangkan harmonisasi hukum antara Hukum Jaminan dan Hukum Harta Perkawinan yang disarankan adalah dengan menambah dan atau mengamandemen produk hukum berkaitan dengan Hukum Harta Kekayaan dan Hukum Jaminan.
“Perjanjian kawin seyogyanya dibuat dengan tidak menimbulkan dualisme bentuk harta dalam perkawinan. Hal ini penting untuk perlindungan hukum untuk suami istri maupun pihak ketiga (kreditur),” tandas Ninik saat mempertahankan disertasi berjudul Kajian Yuridis Terhadap Tidak Dicantumkannya Bentuk Harta Dalam Perkawinan Pada Perjanjian Kredit dan Perjanjian Penjaminannya Menurut Hukum di Indonesia, dengan didampingi promotor Prof. Dr. Siti Ismijati Jenie, S.H., C.N dan ko-promotor Dr. Sutanto, S.H., M.S (Humas UGM/ Agung)