Musyawarah yang dilakukan berdasarkan fondrakö sebagai kearifan masyarakat lokal Nias dapat mengatasi berbagai kelemahan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana atau diversi.
“Salah satunya bisa menyeimbangkan kedudukan korban dan pelaku,” kata Beniharmoni Harefa, saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Hukum UGM, Kamis (24/1).
Dosen UPN Veteran Jakarta ini mengatakan hasil musyawarah berdasar fondrakö juga tidak akan disalahgunakan. Disamping hal tersebut menjadikan pemantauan keseharian anak pasca diversi menjadi lebih optimal.
Nilai-nilai musyawarah berdasarkan fondrakö yang dapat memberikan kontribusi bagi pembaharuan pengaturan diversi, disebutkan Beni, mencakup nilai dari tunofo. Hal ini bermakna korban menyerahkan penyelesaian perkaranya sepenuhnya kepada forum musyawarah.
“Nilai dari bukti tidak disalahgunakan bahwa tidak fair atau tidak adil, bukti yang telah terungkap di sidang adat, digunakan untuk menjerat anak dalam proses peradilan lainya. Kesepakatan yang telah diputuskan bersama menjadi tanggung jawab bersama,”paparnya.
Menurutnya, kedepan diperlukan perumusan kembali beberapa norma yang ada dalam UU No. 11 tahun 2012 terutama untuk mengakomodasi nilai-nilai kearifan lokal di masing-masing daerah Indonesia. Salah satu yang bisa menjadi rujukan adalah nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Nias dengan musyawarah berdasar fondrakö.
Selain itu, aparat penegak hukum perlu mengefektifkan hukum yang hidup dalam masyarakat, khususnya dalam penyelesaian perkara pidana anak. Beni mengatakan bahwa hukum asli masyarakat akan lebih efektif dalam menjawab kelemahan-kelemahan proses peradilan pidana fromal.
“Hukum pidana adat lebih bersifat korektif, rehabilitatif, dan restoratif,”pungkasnya. (Humas UGM/Ika)