Komunikasi orang tua dengan remaja terkait pacaran berpengaruh langsung terhadap perilaku berpacaran remaja.
Hal ini diutarakan oleh Farida Harahap saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Senin (28/1) di Fakultas Psikologi UGM.
“Komunikasi orang tua terbukti masih sangat dibutuhkan remaja karena secara langsung memengaruhi perilaku berpacaran remaja,” ujarnya.
Perilaku berpacaran remaja pertengahan yang berusia 15-18 tahun, menurutnya, berada pada tahap perkembangan hubungan romantis remaja yang bersifat intimasi.
Pada tahap tersebut, perilaku berpacaran remaja adalah melakukan interaksi bersama dengan pacar (couple dating) sehingga kegiatan dilakukan bersifat romantis, yaitu kegiatan merayu atau mengucapkan kata-kata sayang, berkencan, dan intimasi fisik.
“Perilaku berpacaran berpasangan atau couple dating pada remaja pertengahan ini sudah memasuki tahap perilaku berpacaran seperti pada tahap akhir remaja yaitu berfokus pada keintiman dengan pasangan,” terang Farida.
Ia menjelaskan, komunikasi orang tua yang diterima remaja secara positif berkaitan dengan konteks, yaitu bagaimana orang tua mengondisikan dirinya menjadi lebih meyenangkan untuk berkomunikasi, serta frekuensi, yaitu seringnya orang tua berkomunikasi dengan remaja mengenai pacaran.
Ketiadaan keduanya menyebabkan komunikasi orang tua tidak tepat waktu serta tidak bersifat membimbing karena norma, sikap, dan aturan orang tua tidak tersampaikan.
Selain orang tua, teman sebaya juga berpengaruh terhadap perilaku romantis remaja yang berpacaran melalui sikap, kontrol perilaku yang dipersepsi, dan intensi berpacaran, meski pengaruhnya lebih kecil dibandingkan dengan komunikasi orang tua.
Teman sebaya berpengaruh tidak langsung terhadap tinggi rendahnya perilaku berpacaran remaja melalui sikap terhadap pacaran, kontrol perilaku eksternal, dan intensi berpacaran.
“Perilaku teman sebaya yang dianggap berpengaruh oleh remaja adalah norma injunktif atau sikap teman sebaya,” imbuhnya.
Melihat hasil temuan ini, orang tua perlu meningkatkan konteks dan frekuensi komunikasi, termasuk jika perlu orang tua dapat menerima pendampingan untuk komunikasi tersebut.
Remaja yang berpacaran perlu memahami tahap perkembangan hubungan romantis remaja sehingga mengetahui apa yang terjadi selama menjalani hubungan romantisnya serta pengetahuan apa yang dibutuhkan untuk mencapai tugas-tugas perkembangan, seperti identitas diri, intimasi yang sehat, pengelolaan emosi, serta bagaimana menjaga diri untuk tidak melakukan perilaku berpacaran yang intens dan intim yang bisa mendorong ke arah perilaku berpacaran yang berisiko.
Guru Bimbingan Konseling serta pihak sekolah juga perlu memberikan pendampingan pada remaja yang berpacaran mengenai relasi yang sehat dalam berpacaran dan pendidikan seksual dalam rangka menjaga diri dari perilaku berpacaran yang berisiko. (Humas UGM/Gloria)