Terbentuknya Komunitas Asean pada akhir tahun 2015 semakin menambah problematika tentang perjanjian kartel. Salah satu bentuk perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menarik untuk diteliti adalah perjanjian kartel yang secara khusus diatur dalam pasal 11 UU tersebut.
Asean Experts Group on Competition (AEGC) pada bulan Agustus 2010 menerbitkan The Asean Regional Guidelines on Competition Policy 2010 (“Regional Guidelines”). Dengan penerbitan Regional Guidelines ini menjadi langkah awal mewujudkan Asean sebagai kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi (highly competitive economic region).
“Pendekatan yang berbeda dalam menangani perkara kartel di Indonesia dengan di Asean inilah yang menjadi fokus utama penelitian. Kita tahu Regional Guidelines menggunakan “per se illegal”, sedangkan UU No 5 Tahun 1999 menggunakan pendekatan “rule of reason” dalam menangani perkara kartel,” ujar Marta Sri Wahjuni, SH., M.Hum, di Fakultas Hukum UGM, Senin (28/1).
Menempuh ujian terbuka program doktor ilmu hukum dengan judul disertasi “Urgensi Kesesuaian Pengaturan Kartel dan Penanganan Perkara Kartel di Indonesia dengan Pedoman Kebijakan Persaingan Usaha di Kawasan Regional Asean Tahun 2010 (The Asean Regional Guidelines on Competition Policy 2010), Marta Sri Wahjuni menuturkan jika pengaturan penanganan kartel di Indonesia tidak disesuaikan dengan ketentuan mengenai penanganan kartel yang diatur dalam Regional Guidelines maka tidak akan ada akibat apapun bagi Indonesia sebagai negara anggota Asean.
“Regional Guidelines sebagai perjanjian yang termasuk dalam klasifikasi bentuk perjanjian soft law hanya memiliki kekuatan mengikat secara moral saja karena itu pengaturan kartel dan penganganan perkara kartel dalam pasal 11 UU No 5 tahun 1999 perlu disesuaikan dengan Regional Guidelines,” tuturnya.
Selain itu, kata Marta, jika pengaturan kartel di Indonesia tidak disesuaikan dengan Regional Guidelines maka penanganan perkara cross border cartel di Indonesia tidak bisa dilakukan meskipun merugikan pelaku usaha Indonesia dan konsumen Indonesia.
Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu segera merevisi UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta menyempurnakan RUU tentang Perubahan atas UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara umum dan khususnya untuk pasal 11. Hal ini bertujuan agar dapat dirumuskan secara tegas dan diklasifikasikan sebagai pelanggaran yang bersifat hardcore restrictions sehingga penanganan perkaranya dapat dilakukan dengan pendekatan per se illegal sesuai The Asean Regional Guidelines on Competition Policy 2010.
“KPPU sebagai garda terdepan dalam pelaksanaan penegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia sebaiknya diberikan kewenangan lebih luas sehingga tidak hanya dapat menangani perkara-perkara kartel domestik tetapi juga dapat menangani Cross Border Cartel yang berpotensi terjadi dengan terbentuknya Masyarakat Ekonomi Asean,” ucap dosen Fakultas Hukum, Universitas Tarumanegara tersebut didampingi promotor Prof. M. Hawin, S.H., L.L.M., Ph.D dan ko-promotor Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., L.L.M. (Humas UGM/ Agung)