“Hukum Pertanahan dan Hukum Keuangan Negara memiliki perspektif berbeda dalam mengatur penguasaan tanah pemerintah. Hukum Pertanahan menganggap tanah tersebut digunakan pelayanan publik dan tidak bersifat komersial. Sebaliknya, Hukum Keuangan Negara menganggapnya sebagai harta kekayaan negara yang mendatangkan manfaat ekonomis,” ujar Hengki Andora, mahasiswa S3 Ilmu Hukum UGM.
Argumen tersebut ia lontarkan sebagai latar belakang disertasinya dalam ujian terbuka untuk meraih gelar doktor pada Sabtu (26/1) di Ruang III-1.1 Fakultas Hukum UGM. Hengki melanjutkan bahwa perbedaan perspektif antara kedua rezim hukum tersebut berimplikasi pada praktik penguasaan dan pengelolaan tanah yang dijalankan pemerintah.
“Beberapa praktik yang dimaksud meliputi konsep penguasaan tanah, penentuan subjek hukum yang berhak memperoleh tanah, pemanfaatan tanah, hingga pemindahtanganan penguasaan tanah,” jelasnya.
Menurut Hengki, dampak dari praktik ini adalah dirugikannya rakyat karena hak-haknya menjadi terabaikan dan tidak terlindungi. “Hak pengelolaan dimanfaatkan untuk sekadar menjadi instrumen yang menjembatani tumbuhnya iklim investasi dan peningkatan penerimaan pendapat daerah. Kepentingan pragmatis pemerintah semacam itulah yang akhirnya merugikan masyarakat,” ungkapnya.
Hengki merunut perpecahan dua rezim tersebut sudah berakar dari landasan konstitusional, yakni UUD 1945. Hukum Pertanahan merujuk pada ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, sedangkan Hukum Keuangan Negara merujuk pada ketentuan Pasal 23 UUD 1945.
Oleh karenanya, Hengki menyatakan perlunya sebuah titik temu sehingga kedua rezim hukum tersebut bisa bersinergi mewujudkan tujuan sistem hukum, yakni kemakmuran rakyat. Ia kemudian mengajukan tujuh asas hukum yang dapat dijadikan pedoman untuk mewujudkan sinergi tersebut.
Ketujuh asas hukum tersebut yaitu : Asas Kepunyaan Bersama; Asas Hak Menguasai dari Negara; Asas Prioritas; Asas Peruntukan dan Penggunaan Tanah secara Bersama; Asas Penguasaan Tanah Tidak Boleh Dipindahtangankan; Asas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial; serta Asas Pemisahan Horizontal.
Berdasarkan asas-asas hukum tersebut, sebut Hengki, konsep penguasaan dan pengelolaan tanah pemerintah harus dibangun dengan meletakkannya sebagai tanah yang bersifat res extra commercium, yakni diperlakukan terpisah dari benda-benda yang dapat diperjualbelikan. Tanah yang dipakai sendiri untuk keperluan investasi pemerintah merupakan res publicae, sedangkan tanah yang dinikmati masyarakat secara bersama-sama merupakan res communes.
Hengki juga menjelaskan bahwa status penguasaan tanah tersebut oleh pemerintah tidak lagi tanpa jangka waktu. Pemerintah kehilangan hak penguasaannya ketika sengaja tidak mempergunakannya sesuai dengan peruntukan penggunaan tanah atau ketika instansi tersebut tidak lagi berwenang dengan urusan yang berkaitan dengan tanah tersebut. “Dengan demikian, hak-hak rakyat akan tanah tersebut akan kembali jelas,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)