Komunikasi risiko masih menjadi persoalan dominan di Indonesia karena efektivitas menajemen risiko sering terhambat oleh adanya kesenjangan persepsi risiko antara publik dan otoritas. Kesenjangan dapat diatasi dengan memahami bagaimana individu menilai risiko. Sementara kondisi geografis Indonesia yang rawan terhadap bencana alam masih memengaruhi persepsi individu dan masyarakat soal isu perubahan iklim global sebagai risiko yang nyata, meskipun belum tentu ditindaklanjuti dengan tindakan antisipatif karena ada risiko-risiko lain yang harus diperhatikan.
Hal itu dikemukan oleh Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Aquilina Tanti Arini, saat mempertahankan disertasinya dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Psikologi UGM, Senin (28/1). Aquilina mengatakan penelitiannya yang mengulas pengaruh teori kultural pandangan dunia terhadap persepsi risiko perubahan iklilm global, membuktikan bahwa dalam satu risiko perubahan iklim global terdapat beberapa dimensi risiko yang menjadi perhatian setiap isu pandangan global.
Ia menerangkan, penyajian infromasi yang dikemas dengan cara tertentu dapat menonjolkan risiko sesuai dengan pandangan global. Informasi dapat dikemas bisa berisiko untuk mendukung atau mengancam kesejahteraan pribadi (individualisme), kesejahteraan kolektif (egalitarianisme), norma sosial dan tradisi (hierarki), serta pemberdayaan (fatalisme).
Ia menambahkan individualisme umumnya merupakan kultur yang banyak diadopsi oleh orang muda atau laki-laki. Adapun hierarki kebanyak terjadi banyak pada orang tua. Lalu egalitarianisme terjadi pada usia yang lebih tua, berpendidikan tinggi dan kaum perempuan. “Sedangkan fatalisme banyak terjadi pada usia muda atau kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah,” katanya.
Studi ini memberikan bukti baru tentang hubungan fatalisme dan persepsi risiko perubahan iklim global. Sebab, fatalisme cenderung skeptis dengan risiko. Bahkan, memiliki hubungan negatif dengan persepsi risiko perubahan iklim global. Ketidakberdayaan fatalisme, menurutnya, kemungkinan berkaitan dengan perhatian selektif mereka terhadap informasi bencana alam yang disampaikan oleh ilmuwan baik yang pro maupun kontra. “Ketidakberdayaan biasanya tercermin dalam sikap skeptis dan apatis,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)