Berdasarkan data dari Indonesian Corruption Watch, sebanyak 45 orang pelaku tindak pidana korupsi diduga telah melarikan diri ke luar negeri sejak tahun 2011. Di sisi lain, kehadiran mereka dalam pengadilan cukup penting, baik untuk masyarakat maupun diri mereka sendiri. Oleh karena itu, pencarian sekaligus pemulangan para terpidana menjadi penting pula.
Akan tetapi, proses yang terjadi dalam pemulangan tersebut sering kali tidak diatur secara gamblang, salah satunya permintaan bantuan timbal balik. Dengan demikian, kebutuhan akan kejelasan politik hukum dan keberadaan undang-undang yang mengatur bantuan timbal balik dalam masalah secara mutlak menjadi sebuah urgensi.
Pemasalahan tersebut diungkapkan oleh Rina Khairani Pancaningrum, mahasiswa S3 Ilmu Hukum UGM, dalam ujian terbuka untuk meraih gelar doktor pada Kamis (31/1) di Ruang III-1.1 Fakultas Hukum UGM. Ia meneliti pelaksanaan bantuan timbal balik, dari kendala hingga pengaturan ke depannya agar menjadi lebih jelas dasarnya.
Lebih lanjut, Rina memulai dengan menunjukkan landasan hukum bantuan timbal balik selama ini dilaksanakan, yakni UU No. 1 Tahun 2006. Ia merujuk UU tersebut yang menyatakan bahwa bantuan timbal balik dilaksanakan dengan cara beragam sejauh ini, Central Authority (CA), diplomasi, Interpol, dan Police to Police/Agency to Agency/Law Enforcement Agency to Law Enforcement Agency). Dari berbagai macam itu, Rina menyebut beberapa kendala sering terjadi dalam pelaksanaannya.
Pertama, koordinasi yang diatur UU hanya Interpol, sedangkan CA diatur oleh masing-masing lembaga sehingga tidak ada satu kesatuan dalam pelaksanaan bantuan timbal balik. Kedua, kerja sama bantuan timbal balik dalam bentuk perjanjian masih minim jumlahnya dan sangat lambat ratifikasinya. Ketiga, pelaku pidana tindak korupsi yang mengubah status kewarganegaraannya menjadi warga negara tempat pelariannya berhadapan dengan asas tidak menyerahkan kewarganegaraanya dan tegantung dengan peraturan negara yang diminta.
Untuk mengatasi kendala tersebut, Rina menyarankan perbaikan pada UU No. 1 Tahun 2006. Perbaikan tersebut berupa penunjukkan Kementrian Hukum dan HAM sebagai CA serta membuat ketentuan prosedur dan tata cara bantuan timbal balik secara detail. “Perubahan ini agar memberikan kemudahan dan kepastian kepada CA asing dalam memahami prosedur kerja CA Indonesia,” ungkap Asisten Ahli Fakultas Hukum Universitas Mataram ini.
Rina juga menyarankan pemerintah untuk meningkatkan kerja sama antar lembaga penegak hukum. Hal itu supaya terjalin kesatupaduan sehinga mempermudah komunikasi dan pemantauan perkembangan permohonan bantuan timbal balik yang diajukan.
Selain itu, ia juga menyarankan pembentukan jaringan sistem informasi daring antara CA dengan lembaga terkait di dalam negeri maupun CA asing. Pembentukan ini ditujukan untuk memantau pelaku tindak pidana korupsi, terpidana sudah berpindah kewarganegaraan.
“Berdasarkan sumber yang saya temukan, setiap orang wajar, patut, dan layak untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Termasuk juga perbuatan yang dianggap melanggar hukum wajib dipertanggungjawabkan secara hukum pula,” pungkas Rina. (Humas UGM/Hakam)