Pergantian rezim politik menyusul tumbangnya Orde Baru (Orba) tidak dengan sendirinya melahirkan budaya ilmu pengetahuan baru untuk kerja-kerja intelektual menemukan lingkungan atau ekosistem sosial, ekonomi dan politik yang kondusif. Dalam realitasnya, posisi instrumentalis ilmu pengetahuan dan intelektual tidak mengalami perubahan berarti.
Bahkan, hal tersebut mengalami pendangkalan sangat serius, yaitu menjadi pelayan dari hasrat birokratisasi yang semakin tidak terkendali. Terlihat bagaimana proses riset di perguruan tinggi dan pusat-pusat riset berakhir dengan memproduksi bukti-bukti administrasi yang dari waktu ke waktu bukan saja semakin menghina akal sehat, tetapi sekaligus berangkat dari praduga bahwa kaum intelektual pertama-tama adalah makhluk “licik yang tidak bisa dipercayai”, yang menihilkan “kejujuran” sebagai fondasi etik paling utama yang melandasi kerja intelektual.
“Kita sama-sama menyaksikan dengan sedih betapa kaum intelektual justru harus menghabiskan lebih banyak waktu dan energi guna melayani kekakuan rezim administratif ketimbang melakukan penelitian dalam kerangka produksi ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan,” kata Prof. Dr. Cornelis Lay, MA, di Balai Senat UGM, Rabu (6/2).
Cornelis Lay mengatakan itu saat dirinya dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Dalam pengukuhan tersebut, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM menyampaikan pidato berjudul Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan.
Menurut Cornelis, terbunuhnya kreativitas kaum intelektual perlu mendapat perhatian khusus terutama di kalangan ilmuwan politik dan pemerintahan karena dalam kondisi ini terlihat ada perkembangan yang bersifat paradoksal.
Di satu sisi secara kuantitas tingkat kepadatan intelektual yang menggeluti ilmu-ilmu sosial, terutama politik dan pemerintahan semakin tinggi dan label intelektual kadang dihadirkan dengan beragam penyebutan, misalnya ahli, pengamat dan sebagainya dan itu semakin mudah untuk disematkan pada sembarang orang. Sementara, di sisi lain, secara kualitas terjadi proses pendangkalan produksi ilmu pengetahuan dan metode pemecahan masalah-masalah kemanusiaan.
“Dari waktu ke waktu, kita menyaksikan pengetahuan yang dihasilkan semakin monolitik. Sesuatu yang menurut saya mengungkapkan kealpaan pertarungan ide, perspekstif, apalagi paradigma dalam proses produksi ilmu pengetahuan sosial Indonesia kontemporer,” ucapnya.
Cornelis menuturkan, sepanjang pergaulan dan interaksi yang ia alami dengan banyak pelaku di dunia politik, ia menyaksikan sebagian dari mereka gagal pada jebakan yang paling sederhana yaitu ketika mendapat kekuasaan dan menempatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang wajar, sesuatu yang normal. Sementara begitu banyak pelaku politik tergagap menerima kekuasaan dan berakhir dengan perilaku membelakangi akal sehat, dan menampakkan diri sebagai manusia kemaruk yang gila hormat.
Oleh karena itu, katanya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapannya untuk dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya, melainkan justru ketika ia bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual dengan berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan.
Sejumlah pejabat penting hadir dalam pengukuhan kali ini, diantaranya 5 Menteri Kabinet Kerja Indonesia, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Perhubungan. Selain itu, hadir pula Sekjen PDI-P, Wakil MPR RI dan Wakil Menteri ESDM. (Humas UGM/ Agung; foto: Firsto).