Seiring dengan dinamika permasalahan kebahasaan saat ini, struktur bahasa tidak dapat dipandang sebagai sebuah bagian internal kebahasaan yang berdiri sendiri. Dinamika sosial yang berkembang saat ini turut melibatkan struktur bahasa sebagai properti atau alat bagi sebagian masyarakat untuk merealisasikan kepentingan-kepentingannya.
Menurut Ni Ketut Widhiarcani Matradewi, S.S., M.Hum, dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana Bali, di dalam novel yang sarat dengan kreativitas dan ideologi serta ditulis oleh penulis Perancis yang berkarakter maka pengungkapan tema, tokoh dan setting maupun penggunaan struktur menjadi sesuatu yang penuh makna. Bagaimana hal tersebut diproduksi oleh penulis dan selanjutnya diterjemahkan oleh penerjemah ke dalam bahasa sumber merupakan hal menarik untuk diungkapkan.
“Pesatnya perkembangan novel terjemahan menempatkan penerjemah Indonesia pada perannya yang strategis,” ujarnya di FIB UGM, Kamis (14/3) saat melangsungkan ujian terbuka program doktor.
Ni Ketut Widhiarcani mengungkapkan penerjemahan menjadi sebuah arena produksi kultural untuk merealisasikan tujuan yang lebih luas dengan memanfaatkan kompetensi linguistik berupa penciptaan kode-kode bahasa diantaranya berupa diatesis medial. Penerjemah merupakan agen yang mengeksplorasi kemampuan linguistiknya untuk menghasilkan karya sastra terjemahan sehingga karya terjemahan menjadi salah satu arena tempat kata-kata diproduksi dan dieksplorasi.
“Penerjemah pula yang pada akhirnya mereproduksi diatesis medial Bahasa Prancis sehingga menjadi variasi-variasi yang dinamis di dalam novel terjemahan, meskipun konstruksi diatesis medial pada bahasa sumbernya merupakan bentuk yang permanen dan memiliki beberapa fungsi,” jelasnya.
Mempertahankan disertasi Konstruksi Diatesis Medial Bahasa Prancis dan Dinamika Penerjemahannya Pada Novel Bahasa Indonesia Dalam Analisis Linguistik Kritis, Ni Ketut menyebut selain oleh faktor kebahasaan, dinamika variasi penerjemahan diatesis medial diasumsikan akibat adanya faktor-faktor nonkebahasaan. Faktor-faktor nonkebahasaan tersebut menjadi salah satu yang mendasari penerjemah dalam mereproduksi karya terjemahan sehingga memunculkan karya yang kreatif.
Kreativitas penerjemah ini, menurut Ni Ketut, tidak muncul begitu saja karena hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor yang berkontribusi, diantaranya pengetahuan linguistik yang dimiliki serta sistem keyakinan dan pengalaman, konteks serta ideologi. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk menambahkan analisis linguistik kritis yang melihat fenomena kebahasaan dan hubungannya dengan faktor nonkebahasaan untuk mendapatkan gambaran kemunculan variasi-variasi diatesis medial dalam novel terjemahan dan sekaligus untuk menemukan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi dinamika penerjemah serta bagaimana kemunculan dinamika tersebut di dalam novel terjemahan.
“Disertasi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap teori linguistik yaitu menguatkan teori yang sudah ada dan memberikan kebaruan dalam penelitian linguistik mengingat begitu dinamisnya persoalan kebahasaan saat ini yang sudah seharusnya dapat dipecahkan dengan teori-teori yang mampu menjawab persoalan kebahasaan secara keseluruhan,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)