Banyaknya anggota legislatif yang tersandung kasus korupsi dan menurunnya kinerja anggota dewan di tingkat pusat dan daerah dalam melakukan fungsinya sebagai legislator ditengarai akibat lemahnya sistem rekrutmen anggota legislatif dari partai politik. Sebab, pada tataran praksis, pragmatisme menjadi hierarki tertinggi yang diusung parpol dibanding mengemban tugas luhur dan mulia serta sikap idealisme. Tidak hanya itu, peraturan perundang-undangan juga tidak mengakomodasi sistem rekrutmen yang ideal dan masih adanya inkonsistensi aturan internal partai politik terhadap fungsi rekrutmen calon anggota legislatif.
Hal itu dikemukakan oleh Andina Elok Putri Maharani, SH., M.H pada ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Hukum UGM, Senin (18/3). Mahasiswa program doktor ilmu hukum ini menyampaikan penelitian disertasinya yang berjudul Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif di Indonesia mengemukakan bahwa terdapat dua faktor yang menjadi penyebab permasalahan dalam sistem rekrutmen anggota legislatif yang dilaksanakan oleh partai politik. “Pertama, peraturan perundang-undangan tidak mengakomodasi sistem rekrutmen yang ideal. Kedua, adanya inkostensi aturan internal partai politik terhadap fungsi rekrumen partai politik,” kata Andina.
Menurutnya, ada tiga peraturan yang terkait langsung dan menjadi faktor penyebab lemahnya sistem rekrutmen anggota legislatif, yakni pasal 29 ayat (2) dalam UU No 2 tahun 2008 tentang partai politik, pasal 29 pasal 1 UU No 2 tahun 2011 tentang perubahan atas UU No 2 tahun 2008 dan pasal 52 UU No 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Ketiga peraturan tersebut memberikan ruang terlalu bebas kepada partai politik untuk menyelenggarakan rekrutmen secara demokratis, namun tidak disertai ketentuan yang lebih detail mengenai kewajiban rekrutmen partai. “Hal ini menjadi penyebab utama dari lemahnya rekrutmen anggota lesgilatif tatkala partai menerjemahkan klausul demokratis tersebut berdasar kepentingan masing-masing partai,” katanya.
Selain itu, tambahnya, terdapat pula peraturan yang menjadi pendorong lemahnya rekrutmen anggota legislatif yakni pasal 2 UU no 2 tahun 2011 tentang perubahan atas UU no 2 tahun 2008 tentang partai politik yang mengatur pendirian partai politik sehingga memicu adanya sistem multi partai. Hal ini berimplikasi pada kecenderungan perebutan kursi parlemen dan memicu pragmatisme dalam rekrutmen anggota legislatif. “Sistem multi partai akan tidak menjadi masalah bila kelembagaan partai sudah kuat,” tegasnya.
Ia merekomendasikan empat hal yang harus diatur dalam peraturan perundang-undangan, yakni pengaturan partisipasi masyarakat untuk dapat memberikan masukan terkait bakal calon legislatif, penguatan peran KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Selanjutnya, diperlukan pengaturan penguatan fungsi pendidikan politik dalam penguatan kelembagaan partai politik untuk mendukung fungsi rekrutmen. “Terakhir, pengaturan penguatan fungsi kaderisasi politik dalam penguatan kelembagaan partai politik untuk mendukung fungsi rekrutmen,”ujarnya.
Ia juga menyarankan perlu adanya kegiatan berkelanjutan untuk peningkatan kapasitas legislatior agar mengetahui cara formulasi hukum sehingga peraturan yang dibuat dapat mengintegrasikan nilai-nilai dalam masyarakat. Soal mekanisme rekrutmen anggota legislatif, menurutnya, parpol harus melibatkan tim ahli hukum dan politik untuk membantu parpol dalam penyusunan peraturan internal. Peraturan internal tersebut mengatur soal pendidikan politik dan kaderisasi politik yang dilakukan oleh partai.
Yang tidak kalah penting, parpol juga harus menguatkan kapasitas SDM internal parpol untuk melakukan tertib administrasi peraturan internal partai politik yang menjadi dasar rekrutmen anggota legislatif. “Parpol dalam kegiatan politiknya sebaiknya menjadikan Pancasila sebagai paradigma bertindak sehingga dapat menerapkan nilai cita permusyawaratan, cita perwakilan dan cita kerakyatan ,”pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)