Pencemaran dan perusakan lingkungan semakin meresahkan dan berdampak pada ketidakseimbangan kehidupan bagi seluruh organisme dan anorganisme. Salah satu aktivitas yang menimbulkan ketidakseimbangan tersebut adalah aktivitas pertambangan.
Mahasiswa Program Doktor Fakultas Filsafat UGM, Hengki Firmanda, meneliti kontrak karya pertambangan yang menjadi landasan hukum bagi aktivitas pertambangan tersebut.
“Perusahaan melakukan eksploitasi dan eksplorasi dengan alas kontrak karya sehingga perlu diselisik secara mendalam apakah kontrak karyanya yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan, atau praktik dan pelaksanaan perusahaannya memang melanggar kontrak karya,” ujarnya saat mengikuti ujian terbuka program doktor pada Kamis (21/3) di Fakultas Filsafat.
Dalam ujian terbuka ini, Hengki mempertahankan disertasinya yang berjudul “Kontrak Karya Pertambangan dalam Perspektif Filsafat Lingkungan dan Relevansinya Bagi Pengembangan Hukum Kontrak Pertambangan di Indonesia”
Ia menerangkan, para pihak di dalam kontrak selaku subjek kontrak ialah pemerintah dan perusahaan. Para pihak khususnya perusahaan hanya mengambil keuntungan dan belum memperlakukan alam dan masyarakat tempatan sesuai dengan selayaknya.
Penelitian yang ia lakukan bertujuan untuk merumuskan secara reflektif ruang lingkup kontrak karya pertambangan, mendeskripsikan secara analitis kritis dan eksploratif kontrak karya pertambangan dalam perspektif filsafat lingkungan, serta merumuskan secara reflektif sumbangan pemikiran terhadap kontrak karya pertambangan di Indonesia.
“Hasil penelitian ini ialah ruang lingkup kontrak karya pertambangan mencakup kontrak privat, kontrak sosial, dan kontrak publik. Subjek kontrak dari perpaduan antara ketiganya adalah negara, pemerintah, rakyat atau masyarakat, dan perusahaan,” papar dosen di Fakultas Hukum Universitas Riau ini.
Hakikat kontrak karya pertambangan dalam perspektif filsafat lingkungan, jelasnya, ialah memahami bahwa relasi dan interaksi yang seimbang antar subek di dalam pengelolaan sumber daya pertambangan. Relasi dan interaksi tersebut harus memberikan porsi nilai-nilai yang sama antar subjek, atau dalam artian manusia dan alam diberikan keseimbangan serta diberi nilai-nilai yang sama.
“Nilai-nilai tersebut mengacu pada landasan filosofis Negara Republik Indonesia yaitu nilai-nilai Pancasila,” ucap Hengki.
Sumbangan pemikiran terhadap kontrak karya pertambangan di Indonesia, imbuhnya, yaitu eko-kontrak yang berbasis nilai-nilai Pancasila, menerapkan asas religius dalam kontrak pertambangan di Indonesia, dan menjadikan masyarakat hukum adat sebagai subjek di dalam kontrak.
Secara spesifik terhadap kontrak karya pertambangan Newmont dan Freeport, pemikiran filsafat lingkungan menegaskan penerapan asas religius dalam kontrak karya pertambangan, dan memperjelas posisi masyarakat hukum adat sebagai subjek di dalam kontrak karya pertambangan. (Humas UGM/Gloria)