“Pola interaksi antar individu masyarakat Kota Surabaya kini semakin berjarak dan eksklusif antar golongannya. Hal itu beriringan dengan perkembangan kotanya menjadi kota industri modern,” tutur A. Pratisto Trinarso dalam Sidang Terbuka Ujian Doktor pada Selasa (2/4) di Ruang Sidang Persatuan lt.3 Fakultas Filsafat UGM.
Argumen tersebut menjadi latar belakang mahasiswa S3 Prodi Ilmu Filsafat ini dalam menyusun disertasinya. Trinarso khawatir bahwa perubahan pola interaksi tersebut dapat mengancam eksistensi kebudayaan khas Surabaya, yakni budaya Arek Suroboyo.
Budaya Arek Suroboyo menekankan pada kultur masyarakat yang mengurangi penekanan terhadap titel dan adat tradisi, dan lebih mengedepankan kesuksesan ekonomi dan politik individu. Kekhasan yang dimiliki budaya ini, menurut Trinarso, yaitu keterbukaan, cenderung kasar, egaliter, dan bondo nekat (bonek).
Namun, ia berpendapat bahwa nilai egaliter dari budaya Arek Suroboyo ini perlu dipelajari karena memiliki manfaat pragmatis bagi perkembangan masyarakat Surabaya yang masih dihidupi hingga saat ini. Ia kemudian mencoba menggali nilai egaliter tersebut melalui perspektif aksiologis, terutama dari teori nilai yang dikembangkan oleh Max Scheler dan John Dewey.
Setelah diteliti, Trinarso menyimpulkan bahwa nilai egaliter dari budaya Arek Suroboyo terdapat dalam penggunaan Boso Suroboyoan, kesenian Ludruk, aktivitas organisasi Sinoman, dan kelompok suporter Bonek. Sebagai nilai budaya, nilai egaliter dari budaya ini terbatas hanya terikat pada budaya komunal masyarakat Surabaya.
Sementara hakikat nilai egaliter Arek Suroboyo dalam perspektif aksiologi, menurut Trinarso, adalah nilai yang bersifat objektif, apriori, dan merupakan nilai yang tetap. Nilai ini merupakan hasil preferensi dan pertimbangan masyarakat Surabaya dalam usaha memperjuangkan hidupnya.
Trinarso melanjutkan bahwa nilai ini menempati tingkat ketiga dalam hierarki nilai yang dikembangkan Max Scheler. “Nilai egaliter Arek Suroboyo bermakna keadilan karena menempatkan manusia sama dan sederajat dengan manusia lainnya. Nilai ini merupakan nilai intrinsik karena menjadi dasar tujuan hidup masyarakat Surabaya hingga saat ini,” ungkap dosen Universitas Katolik Widya Mandala ini.
Kemudian, dari sudut pandang aksiologi John Dewey, Trinarso menyimpulkan bahwa nilai egaliter Arek Suroboyo bercorak pragmatis karena membawa manfaat praktis. Hal itu berupa kesejahteraan hidup dari bisnis dan perdagangan.
Akan tetapi, menurut Trinarso, nilai ini memiliki keterbatasan pada ressentiment, yakni kualitas masyarakat Surabaya sebagai pengembannya yang menghidupi konsep manusia tertindas. Ressentiment ini menguatkan komunalisme dan fanatisme kelompok.
Oleh karena itu, Trinarso menyarankan untuk merevitalisasi nilai ini dengan penyempurnaan konsep manusia dalam pemahaman substansinya dan kesadarannya sebagai individu. “Nilai egaliter Arek Suroboyo bersifat dinamis. Nilai ini berpoternsi hilang apabila masyarakat Surabaya mengalami perubahan dalam kebudayaannya akibat perkembangan zaman. Maka darinya, diperlukan revitalisasi agar nilai ini dapat terus diwariskan kepada generasi masyarakat Surabaya mendatang,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)