Whistel blowing menjadi isu menarik dan menjadi perhatian global, termasuk di Indonesia. Beberapa diantaranya pelaporan tindakan kecurangan dalam kasus Gandasari Tetra Mandiri, korupsi di lingkungan Angkatan darat, dan “papa minta saham”.
“Ketika keadilan prosedural tinggi, seseorang akan cenderung lebih besar bertindak sebagai whistle blowing internal atas tindakan kecurangan yang diketahuinya dibanding individu yang berada di kondisi keadilan prosedural rendah,” papar Firma Sulistyowati, Senin (8/4) saat ujian terbuka program doktor di FEB UGM.
Mempertahankan disertasi berjudul Keadilan Prosedural dan Whistle Blowing Internal: Pengujian Peran Kepemimpinan Autentik sebagai pemoderasi, Firma menyampaikan bahwa pegawai yang dihadapkan pada kondisi keadilan prosedural tinggi dalam situasi terdapat kepemimpinan autentik memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan whistle blowing internal.
Temuan ini, lanjutnya, juga menunjukkan bahwa kepemimpinan autentik berperan penting dalam mendorong individu untuk melakukan whistle blowing internal. Saat pegwai mempersepsi keadilan prosedural rendah maka keberadaan kepemimpinan autentik mampu mengubah perilaku pegawai untuk berpartisipasi sebagai whistle blowing.
Berdasar hasil penelitian tersebut, Firma menyampaikan sejumlah rekomendasi yang perlu dilakukan organisasi. Salah satunya merancang dan mengeksekusi prosedur dan kebijakan whistle blowing internal, khususnya dengan mengakomodasi prinsip-prinsip keadilan prosedural dan aspek-aspek dalam kepemimpinan autentik.
“Ada baiknya bagi pemerintah mewajibkan seluruh instansi pemerintah maupun perusahaan swasta yang telah memenuhi kualifikasi tertentu untuk membangun sistem whistle blowing internal yang memadai,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)