Pemerintah terus berharap kemunculan para teknopreneur, khususnya mereka yang berasal dari kalangan pemuda yang notabene pegiat dunia digital. Harapan pemerintah inipun disertai dengan keseriusan program yang terus digencarkan, diantaranya menjalin kerja sama dengan Google dalam bentuk edukasi IT dan pemberdayaan ekonomi digital bagi UMKM.
Sejumlah kebijakan pun ditempuh pemerintah sebagai upaya mewujudkan visi Indonesia sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Bahkan, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), AAGN Puspayoga, sangat berharap akan hal ini. Ia menilai Indonesia membutuhkan pengusaha berbasis teknologi yang usahanya mempunyai dampak sosial.
Tokoh-tokoh penggerak pun kemudian bermunculan di era digital ini. Entrepreneur seperti Nadiem Makarim, bureaupreneur seperti Ridwan Kamil, dan masih banyak yang lainnya. Kelahiran tokoh-tokoh muda juga semakin marak di tingkat daerah.
Kota Yogyakarta misalnya mempunyai Fitriani Kembar yang mengembangkan Dreamdelion Community Empowerment di daerah Sumberarum, Rexi dari Hoshizora yang mengembangkan Dreamdelion Community Empowerment di Pajangan, Osiris yang mengembangkan bisnis buah naga dengan melibatkan komunitas difabel di Desa Sidomulyo Bantul dan masih banyak yang lainnya.
Diah Ajeng Purwani, dosen Program Studi Komunikasi, Fakultas Ilmu Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta mengatakan pertumbuhan social entrepreneurs yang meningkat dari tahun ke tahun di Yogyakarta ternyata belum diikuti dengan keberlanjutan bisnisnya. Salah satu kendala bagi komunitas di Yogyakarta yang menggerakkan social entrepreneurship adalah keberlanjutan (suistainability) organisasi dan kegiatan sosial serta bisnisnya agar dapat melayani kebutuhan masyarakat.
“Anak muda penggerak kegiatan social entrepreneurship rata-rata mahasiswa yang sedang studi di Yogyakarta sehingga ketika mahasiswa tersebut sudah menamatkan pendidikannya maka kegiatan social entrepreneurship tersebut berhenti karena penggeraknya kembali ke kota asalnya,” katanya di Auditorium Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (9/4).
Selain itu, katanya, masalah local empowerment juga menjadi permasalahan serius karena masalah-masalah yang ingin dipecahkan oleh para social entrepreneurs kadang tidak selalu sejalan dengan cara orang lokal untuk bisa bertahan. Young social entrepreneurs Yogyakarta juga memiliki kendala lain seperti semangat yang tiba-tiba hilang di tengah jalan karena ada tawaran gaji dan pekerjaan yang lebih menarik.
Padahal , dalam konteks Masyarakat Ekonomi Asian (MEA), generasi milenial akan memegang peranan penting karena jumlah penduduk ASEAN (10 negara) adalah 625 juta orang dan 40, 3 persen diantaranya adalah orang Indonesia (255,5 juta orang). Dengan 84 juta milenial di Indonesia berarti 23 persen pemuda ASEAN ada di Indonesia. Melihat fenomena tersebut maka diperlukan pemberdayaan kepada masyarakat khususnya anak muda dengan cara-cara yang berbeda.
“Karena itu memberdayakan masyarakat di dunia digital menjadi tantangan yang harus dihadapi young social enterpreneurs di Yogyakarta. Bagaimana unsur-unsur pemberdayaan diimplementasikan oleh young social entrepereneurs Yogyakarta di dunia digital,” katanya saat menempuh ujian terbuka program doktor ilmu-ilmu humaniora UGM.
Dari penelitian Diah Ajeng Purwani ini akhirnya menghasilkan pandangan teoretik baru mengenai pemberdayaan dalam dunia digital untuk generasi milenial melalui unsur-unsurnya yang selama ini belum pernah ada dalam ranah penyuluhan dan komunikasi pembangunan. Dimana pemberdayaan yang dilakukan young social entrepreneurs dalam dunia digital diharapkan melibatkan 7 unsur penting, yaitu brand story, brand mission, sample product, community development, mixed media, memorable content and packaging, serta differentiation.
“Konsep pemberdayaan di dunia digital (empowerment in digital world) yang ditemukan dari hasil penelitian ini adalah memberdayakan diri sendiri dengan menjadi contentcreator di media social,” ucapnya yang dinyatakan lulus program doktor UGM dengan predikat cumlaude tersebut.
Diah Ajeng berharap penelitian berikutnya mampu memperdalam tema kajian empowerment in digital world agar menjadi referensi baru di bidang komunikasi pembangunan. Sebab, perkembangan startup digital dan dunia marketing saat ini sudah mencapai marketing 4.0, teknologi 5G serta era disrupsi yang tentunya akan menyebabkan pola/model pemberdayaan menjadi bergeser.
“Penelitian selanjutnya diharapkan bisa membuat model pemberdayaan dan redefinisi mengenai pemberdayaan dalam dunia digital berdasarkan perkembangan saat ini,” ungkapnya saat mempertahankan disertasi Unsur Pemberdayaan Young Social Enterpreneurs Yogyakarta di Era Digital dengan tim promotor Prof. Dr. Partini, S.U dan Dr. Agr. Ir. Sri Peni Wastutiningsih. (Humas UGM/ Agung)