Daerah Aliran Sungai (DAS) Serang Kulon Progo merupakan salah satu DAS prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014. Meski demikian, kerusakan fungsi DAS ini cukup memprihatinkan, ditandai dengan meningkatnya bencana alam, seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan.
“Rendahnya daya dukung DAS sebagai suatu ekosistem diduga sebagai salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam yang terkait dengan air,” ujar Agung Setyawan saat mengikuti ujian terbuka program doktor pada Selasa (16/4) di Auditorium Sekolah Pasca Sarjana UGM.
Disertasi yang ia presentasikan dalam ujian terbuka ini berjudul “Penilaian Jasa dan Etika Lingkungan Berbasis Daerah Aliran Sungai dalam Pengelolaan DAS Serang Kulonprogo Yogyakarta”.
Upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi DAS, jelasnya, sudah dimulai sejak tahun 1970-an di antaranya melalui Program Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air (PPHTA), Inpres Penghijauan dan Reboisasi, serta Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Di Kulon Progo salah satu kegiatan terpadu yang didukung oleh Kementerian Kehutanan adalah gerakan menanam 1,5 juta pohon per tahun.
Ia menambahkan, salah satu pendekatan baru dalam pengelolaan DAS yaitu dengan pendekatan jasa lingkungan dan etika lingkungan yang ada di DAS Serang Kulonprogo. Etika lingkungan dalam pengelolaan DAS Serang melibatkan faktor-faktor sosial sebagai variabelnya sehingga diharapkan dapat mengetahui bagaimana pengembangan konsep daya dukung DAS, mengetahui pola spasial sebaran daya dukung DAS, serta mengetahui faktor yang berpengaruh besar terhadap daya dukung DAS Serang.
Dari hasil penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa tingkat kerusakan lingkungan DAS Serang Kulonprogo terjadi di wilayah SubDAS Soemitro, Ngrancah dengan kerusakan tinggi, wilayah Sekiyep dengan tingkat kerusakan lingkungan sedang, dan wilayah Sidatan dan Nagung dengan tingkat kerusakan rendah.
“Wilayah SubDAS Ngrancah dan Soemitro mempunyai kelas etika lingkungan yang rendah. Masyarakat di hulu hanya paham sekadar bekerja dan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa melihat aspek dari menjaga lingkungannya,” lanjut Agung.
Berdasarkan data kuesioner dan wawancara di wilayah Sekiyep, diketahui bahwa wilayah ini memiliki tingkat etika lingkungan sedang dan cenderung tidak peduli atau cuek dengan kondisi lingkungan yang ada. Sementara itu, di Sidatan dan Nagung ia menemukan kelas etika lingkungan yang tinggi karena masyarakat di wilayah ini sering terdampak dari bencana yang ditimbulkan oleh aktivitas di wilayah hulu DAS.
“Faktor yang sangat berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan di DAS Serang adalah berupa faktor geofisik seperti banjir, longsor, dan erosi yang disebabkan oleh pemanfaatan lahan di wilayah DAS bagian hulu dan tengah tanpa memperhatikan keberlangsungan ekoistem DAS,” terangnya.
Ia berharap, ada kebijakan dari pemerintah daerah atau instansi terkait untuk selalu memperhatikan aspek jasa lingkungan dan etika lingkungannya. Ia juga merekomendasikan agar fungsi kawasan SubDAS Ngerancah dan Soemitro ditetapkan sebagai kawasan lindung, SubDAS Sekiyep sebagai kawasan penyangga, dan wilayah Sidatan serta Nagung sebagai kawasan budi daya dan pemukiman. (Humas UGM/Gloria)