Arifah Rahmawati, SE., M.A, peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, mengatakan kebijakan dan program reintegrasi yang dilakukan di Aceh tidak memiliki perspektif keadilan gender. Acuan kebijakan reintegrasi Aceh, yaitu MOU Helsinki, tidak memberikan mandat tentang pengarusutamaan gender sehingga tidak ada sensitif gender dalam setiap poin-poin perjanjiannya.
Konsep pengarusutamaan gender yang dibuat BRA (Badan Reintegrasi Aceh) hanya bersifat normatif dan tidak memiliki landasan berpikir yang kuat. Pelaksanaan program reintegrasi BRA yang dikatakan berspektif gender ditekankan hanya pada upaya mengikutsertakan perempuan atau sasaran program untuk perempuan.
“Sehingga terkesan program tersebut hanya untuk membuat dan mengisi laporan ada keterlibatan perempuan di dalamnya. Sementara desain programnya tidak menggunakan dasar kebutuhan serta kepentingan perempuan apalagi perempuan kombatan,” ujarnya di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (22/4).
Demikian juga dalam hal penganggaran tidak ada alokasi khusus untuk program perempuan kombatan. Perspektif gender dalam reintegrasi, menurut Arifah, hanya dimaknai dengan adanya pelibatan perempuan sebagai staf honorer di BRA atau BRAD.
Menempuh ujian terbuka Program Doktor Program Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan Sekolah Pascasarjana UGM, Arifah mempertahankan disertasi Kontestasi Gender dalam Konflik Kekerasan dan Perdamaian Studi Reintegrasi Kombatan Perempuan Gerakan Aceh Merdeka-Inong Balee. Menurutnya, gender berkontribusi pada proses reintegrasi para Inong Balee yang bersifat kontestatif dalam konteks hubungan dengan kombatan GAM secara umum (laki-laki dan perempuan).
“Gender juga berkontribusi diantara Inong Balee sendiri sehingga terdapat hierarki dan wajah Inong Balee tidak homogen. Hierarki para Inong Balee ditentukan oleh ada atau tidaknya kekuasaan atau hubungan dengan pemimpin GAM laki-laki,” katanya.
Arifah menuturkan studi kasus tentang reintegrasi Inong Balee dalam penelitian ini menegaskan bahwa narasi historis penting dalam proses perubahan kombatan menjadi pembina perdamaian. Penyingkiran terhadap para perempuan bekas kombatan dari proses bina damai dan reintegrasi di Aceh merupakan sebuah kesempatan yang hilang untuk mengubah makna heroisme perempuan dan pengakuan terhadap kekuatan agensi perempuan dalam rekonstruksi pasca konflik.
Kebijakan yang relevan dan bisa dilakukan adalah dengan menciptakan ruang-ruang perjumpaan sehingga para bekas kombatan dari berbagai level hierarki dapat berpartisipasi. Dengan adanya ruang perjumpaan tersebut maka akan ada pengakuan atas partisipasi mereka dalam bina damai, sekaligus untuk membantu menjamin kebutuhan ekonomi mereka.
“Reintegrasi kombatan perempuan menggarisbawahi pentingnya inklusivitas dalam proses bina damai serta orientasi program yang menghasilkan kesetaraan gender. Hal yang perlu ditekankan adalah inklusivitas tidak bisa tercapai hanya dengan melibatkan para perempuan dari kalangan akademis yang tinggal di wilayah perkotaan, narasi heroisme perempuan harus menggunakan semua potensi sumber daya perempuan dalam sebuah masyarakat yang konservatif seperti di Aceh,” ucap Arifah yang dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude. (Humas UGM/ Agung).