Proses transformasi masyarakat di era keterbukaan informasi dan teknologi semakin menggerus jati diri dan nilai-nilai kehidupan bangsa. Radikalisme dan intoleransi menjadi bentuk manifestasi dari fenomena ini.
Prof. Amin Abdullah, Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), menyampaikan bahwa pendidikan agama saat ini cenderung menghasilkan pemahaman agama dan polarisasi dalam masyarakat. Harkat dan martabat kemanusiaan sebagai inti dan esensi dari ajaran agama dan spiritualitas telah direduksi menjadi pemahaman agama yang sempit. Pendidikan agama di era saat kurang menekankan nilai-nilai kehidupan bersama yang kohesif dan spiritualitas.
Melihat persoalan tersebut AIPI bersama dengan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) yang beranggotakan UGM, UIN Sunan Kalijaga dan UKDW, menyampaikan rekomendasi dalam tiga aspek yang akan diajukan kepada pemerintah. Rekomendasi tersebut diperoleh dari hasil seminar dan lokakarya Agama dan Harkat Kemanusiaan di Era Sintesis yang digelar ICRS-AIPI selama dua hari, 25-26 April 2019 di Sekolah Pascasarjana UGM
Rekomendasi pertama terkait pendidikan dan pembelajaran yakni seruan untuk meninjau ulang sistem pendidikan dan ekosistem di sekolah dan perguruan tinggi. Lembaga pendidikan diharapkan memasukkan nilai-nilai universal seperti keadilan dan kesetaraan dalam seluruh mata pelajaran dan mata kuliah.
“Nilai-nilai universal seperti spiritualitas, keramahtamahan, integrasi sosial, saling percaya antar negara dan umat beragama, dan lainnya perlu dimasukkan dalam pendidikan sekolah dan perguruan tinggi. Jadi, pendidikan agama jangan hanya doktrin dan ritual saja,” paparnya saat konferensi pers di Sekolah Pascasarjana UGM, Jumat (26/4).
Selain itu, juga menyajikan materi tentang nilai-nilai universal dan prinsip-prinsip harkat dan martabat kemanusiaan melalui berbagai media. Diikuti penyelenggaraan pengayaan nilai-nilai kemanusiaan universal dan ke-Indonesiaan bagi para guru dan dosen dengan diarahkan pada pemikiran tingkat tinggi dan penyelesaian masalah yang kompleks.
Rekomendasi berikutnya terkait aspek penelitian dan pengembangan kapasitas. Amin mengatakan perlunya mendorong penelitian komprehensif dan kolaboratif jangka panjang untuk menggali sejarah, ajaran agama, spiritualitas, kearifan lokal, dan nilai-nilai universal yang dimiliki bangsa.
“Karena telah menjadi persoalan lintas ilmu maka perlu penelitian kolaboratif dan interkonektif antar berbagai lintas disiplin ilmu,” tuturnya.
Pihaknya juga mendukung pembentukan institusi-institusi pendidikan tinggi yang menyediakan solusi hulu melalui pengkaderan intelektual dan pemimpin-pemimpin agama yang siap memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Reformasi kebijakan menjadi hal yang harus segera dilakukan. Salah satunya dengan memperkuat regulasi dan kebijakan untuk mitigasi hoaks, ujaran kebencian, agitasi, serta propaganda negatif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, organisasi sosial keagamaan, aparat keamanan, birokrasi pemerintah, lembaga riset dan perguruan tinggi.
“Memperkuat sistem peringatan dini guna mitigasi penanganan konflik sosial yang berbasis agama, ras, etnisitas, dan lainnya,”terangnya.
Ditambahkan oleh Dr, Dicky Sofjan dari ICRS/UGM bahwa semua agama di dunia mendukung harkat dan martabat kemanusiaan. Sayangnya, terkadang pendidikan agama memarjinalkan ajaran esensial terkait harkat dan martabat kemanusiaan. Padahal, hal tersebut merupakan esensi utama agama diturunkan di muka bumi yakni untuk memanusiakan manusia.
“Ini pesan universal pada masyarakat, akademisi, dan pemerintah bahwa semua manusia punya harkat dan martabat, harus dihargai terlepas dengan latar belakang masing-masing. Kembalikan esensi ajaran agama pada prinsip memanusiakan manusia,” jelasnya.(Humas UGM/Ika)