Menghadapi Revolusi Industri 4.0, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dunia Perguruan Tinggi di Indonesia, salah satunya kebutuhan untuk menyediakan program studi yang relevan dengan perkembangan zaman. Meski beberapa perguruan tinggi mulai membuka program studi baru yang sejalan dengan revolusi industri, namun tren peminatan program studi selama 3 tahun belakangan ternyata belum berubah.
“Tiga besar program studi dengan peminatan tertinggi di Indonesia masih didominasi oleh program studi Pendidikan Dokter, Ilmu Hukum, Manajemen, dan Ilmu Komunikasi,” tutur Iradat Wirid, Peneliti Center for Digital Society (CfDS) UGM, Kamis (2/5).
Ia memaparkan, pada tiga tahun terakhir terdapat fenomena menarik terkait tren kenaikan peminatan pada beberapa program studi, seperti Antropologi Sosial (Universitas Diponegoro), Bahasa dan Kebudayaan Korea (UGM), serta Teknologi Pendidikan (Universitas Pendidikan Indonesia).
Hal ini menunjukkan bahwa fenomena transformasi digital yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir tidak lantas menjadikan program-program studi dengan fokus pada isu-isu digital dan teknologi menjadi favorit para calon mahasiswa baru.
Pada periode yang sama, perguruan-perguruan tinggi di Indonesia telah berlomba-lomba membuka program studi baru yang dianggap dapat menyokong perkembangan Revolusi Industri 4.0.
Salah satu di antaranya adalah Ilmu Aktuaria, ilmu mengenai pengelolaan risiko keuangan yang mengombinasikan ilmu matematika, statistika, dan komputer, yang saat ini telah dibuka di sekitar 5 perguruan tinggi nasional ternama, yakni Institut Pertanian Bogor, Universitas Padjajaran, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dan Universitas Gadjah Mada.
“Tren peminatan pada program-program studi ini, dapat dilihat, meskipun belum setinggi prodi-prodi tradisional, namun memiliki prospek peningkatan pada tahun tahun ke depan. Program Bisnis Digital di Universitas Padjajaran yang dibuka pada tahun 2018 lalu, misalnya, telah menempati peringkat tertinggi sebagai program studi terbaru yang memiliki jumlah peminat tertinggi pada tahun tersebut,” imbuhnya.
Persoalan lain terkait pendidikan tinggi dan revolusi industri 4.0 adalah rendahnya persentase masyarakat yang melanjutkan studi hingga jenjang Perguruan Tinggi yang berkorelasi pada kualitas sumber daya manusia masyarakat.
Berdasarkan data dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), saat ini sudah terdapat sekitar 4.500 Perguruan Tinggi di Indonesia. Akan tetapi, dari jumlah yang cukup tinggi tersebut, pada tahun 2018 hanya terdapat 7,5 juta mahasiswa yang terdaftar di dalamnya.
“Hal ini menjadikan Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi di Indonesia menjadi salah satu yang cukup rendah di kawasan, yakni berada pada pada sekitar 34% saja. Data dari Bank Dunia menyebutkan bahwa pada tahun 2016, hanya 8.79% populasi Indonesia yang telah mengenyam gelar sarjana,” tutur Manager Digital Intelligence Lab CfDS, Treviliana Eka Putri.
Di era ini, perguruan tinggi perlu berinovasi di dalam memberikan medium baru untuk proses pembelajaran. Online learning dan distance learning menjadi sebuah kebutuhan untuk dapat meningkatkan angka partisipasi mahasiswa yang dapat menempuh pendidikan di tingkat perguruan tinggi serta menjawab tantangan baru generasi Z yang sudah akrab dan cakap dalam memanfaatkan teknologi.
“Pada segi edukasi, keberadaan laboratorium yang menunjang pendidikan dan penelitian terkait big data, artificial intelligence, dan machine learning juga penting untuk mulai dikembangkan,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)