Akuntan merupakan profesi dengan tututan kerja dengan tingkat tekanan yang tinggi. Skedul waktu dan anggaran dalam penyelesaian suatu pekerjaan audit memicu tekanan yang tinggi. Begitu pun tekanan yang dialami para auditor BPK atau auditor di kantor akuntan publik. Namun, tuntutan profesi ini untuk menghasilkan kualitas audit yang baik dan keinginan memenuhi tenggat waktu dan anggaran yang ketat berdampak pada tekanan psikologis. Olah karena itu, kemampuan para akuntan dalam mengatasi tekanan atau coping sangat diperlukan agar tidak berpengaruh pada hasil kualitas pertimbangan hasil auditnya. Hal itu mengemukan dalam ujian terbuka promosi doktor yang disampaikan oleh mahasiswa program doktor ilmu Akuntansi FEB UGM Hariman Bone, SE., M.Sc., Senin (1/7) di ruang auditorium BRI FEB UGM.
Dalam penelitiannya yang melibatkan 108 auditor profesional di bidang pemerintahan, ia menyebutkan kesuksesan audit dalam pemberian pendapat atas laporan keuangan sangat bergantung pada tim beserta pengendaliannya. Namun begitu, tindakan coping atau usaha kogntif dan perlikau untuk mengendalikan tekanan terhadap auditor ditengarai karena adanya tekanan waktu, kelebihan beban kerja, konflik peran dan sebagainya. “Strategi coping yang tepat dapat mengurangi tekanan dan meningkatkan fokus auditor pada penugasannya” katanya.
Menurutnya, pengendalian perilaku dan strategi coping bisa menghasilkan kualitas pertimbangan auditor yang berbeda dan memiliki implikasi penting bagi organisasi. Sedangkan organisasi sendiri perlu menitikberatkan ukuran kinerja anggota tim yang fokus pada kepatuhan untuk mengikuti arahan-arahan ketua tim dan prosedur audit yang telah ditentukan. “Organisasi perlu menekankan kepada supervisor atau ketua tim untuk meningkatkan pengetahuan tentang proses transformasi keilmuan audit baik secara formal maupun informal. Pengetahuan proses transformasi keilmuan memungkinkan atasan untuk menggunakan tipe pengendalian perilaku,” ujarnya.
Ia menambahkan, atasan sebaiknya menggunakan pengendalian perilaku pada auditor yang belum berpengalaman, sedangkan organisasi perlu memberikan mekanisme mentoring psikologikal dalam rangka meningkatkan kualitas pertimbangan auditor. “Anggota tim membutuhkan pelatihan psikologikal untuk menanggulangi persoalan-persoalan dalam lingkungan audit. Pelatihan tersebut bertujuan untuk megurangi respons reaktif pada individu yang dapat mengurangi fokus mereka pada pekerjaan audit,” katanya.
Selain itu, setiap organisasi perlu menekankan hubungan formal dan informal dalam bentuk mentoring. Formal mentoring yakni menitikberatkan pada pencapaian karier auditor di masa mendatang, sedangkan mentoring informal menitikberatkan pada perbaikan psikologikal yang mendorong bawahan untuk menghasilkan hasil kerja yang positif. (Humas UGM/Gusti Grehenson)