Mungkin masih menjadi kontroversi yang terus bergulir di tengah masyarakat soal khitan pada bayi perempuan. Sebagian kelompok masyarakat beranggapan hal tersebut sebagai tindakan yang tidak manusiawi, namun sebagian kelompok yang lain beranggapan hal itu sebagai tuntunan budaya dan agama.
Indonesia menjadi salah satu negara yang disorot dunia terkait hal ini, terutama dalam hal persentase khitan pada anak perempuan. Data UNICEF tahun 2013 menempatkan Gorontalo, Bangka Belitung, dan Banten sebagai wilayah yang menduduki posisi teratas terkait persentase pelaksanaan khitan perempuan, dengan persentase masing-masing 83,7 persen, 83,2 persen dan 79,2 persen.
“Gorontalo yang dikenal sebagai ‘Serambi Madinah’ memang memegang teguh ajaran Islam yang terwujud dalam bentuk adat-istiadat, termasuk dengan tradisi khitan perempuannya yang dinamakan tradisi Mongubingo,” ujar Yulia Rosdiana Putri, di Kampus UGM, Senin (1/7) menjelaskan penelitiannya terkait hal ini.
Yulia Rosdiana pun menjelaskan tradisi khitan perempuan di Gorontalo baru-baru ini menjadi permasalahan. Permasalahan tersebut dikarenakan tradisi ini dianggap sebagai pelecehan kaum perempuan dan anak.
Oleh sebab itu, bersama dua temannya yaitu Rajwa Naajiyah (FKKMK 2016) dan Moch. Zihad Islami (Filsafat 2018) yang tergabung dalam tim Program Kreativitas Mahasiswa-Penelitian Sosial Humaniora (PKM-PSH) melakukan penelitian mengenai tradisi Mongubingo di suku Gorontalo ini. Dengan bimbingan dosen Fakultas Filsafat, Sri Yulita Pramulia Panani, S.Fil., M.Phil, tim mahasiswa UGM mencoba meneliti adat ini sebagai bagian dari kearifan lokal nusantara guna mengetahui makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.
“Dari tradisi yang sudah mengakar di suku Gorontalo ini kami juga ingin mengetahui apakah adat ini benar-benar berbahaya bagi kesehatan,” ucap Yulia, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM angkatan 2017.
Moch. Zihad Islami menambahkan tradisi Mongubingo dapat diartikan sebagai tradisi pengkhitanan pada bayi perempuan yang berusia 1-3 tahun. Mongubingo sendiri terdiri dari dua rangkaian, yakni lihu lo limo dan mo polihu lo limu.
“Lihu lo limo adalah suatu niat kepada sang bayi perempuan yang akan dikhitan, sedangkan mo polihu lo limu adalah memandikan lemon kepada sang bayi perempuan untuk disucikan,” ujar Moch Zihad.
Penelitian lapangan dilakukan oleh mereka di Kelurahan Tapa, Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo. Meski begitu, penelitian akhirnya merambah ke Kabupaten Gorontalo, sebab tradisi lebih banyak dikenal di Kabupaten Gorontalo dan narasumber yang cenderung lebih mudah ditemui.
Saat melakukan penelitian di lapangan ini tim UGM sempat mewawancari Pemangku Adat Kecamatan Limboto, Dinas Kesehatan Kota Gorontalo, Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (DPPA) Kota Gorontalo, DPPA Provinsi Gorontalo, dosen Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo dan beberapa masyarakat yang pernah menyelenggarakan tradisi Mongubingo serta mahasiswa yang sudah melaksanakan khitan perempuan.
“Hasilnya sedikit yang menemukan risiko kesehatan yang berat atas tradisi khitan perempuan tersebut, hanya pada aspek psikologis dan demam sementara,” tambah Rajwa Naajiyah.
Sementara itu itu, Fona Karlina, salah satu orang tua yang anak perempuannya di khitan, menyatakan mandi lemon itu menjadi kewajiban orang tua. Di dalamnya terkandung nilai-nilai agama dan nilai sosial yang sangat bergantung pelaksanaannya oleh keluarga tersebut.
“Mandi lemon didahului dengan doa-doa. Tradisi seperti ini sebaiknya jangan dihilangkan. Meski berisiko dan berbahaya, sebaiknya tradisi ini tetap ada tradisinya bisa menyesuaikan,” ucap Fona Karlina.
Sedangkan hasil wawancara tim PKM dengan Ibu Olan, dari Dinas Kesehatan Kota Gorontalo, menyiratkan jika tradisi yang berlangsung selama ini belum ada laporan. Bahkan, para bidan kampong yang pernah mendapat pelatihan dan biasa melakukan prosesi khitan kepada bayi perempuan bersaksi jika saat prosesi khitan tidak ada yang dipotong.
“Namun, mengeluarkan putih-putih dari alat vital perempuan atau dikenal dengan nama smegma. Jadi, menurut kami khitan perempuan di Gorontalo itu bukan FGM (Female Genital Mutilation),” kata Olan.
Dalam penelitian ini didapati beberapa temuan menarik yang seharusnya dapat diketahui masyarakat luas agar mereka tidak dengan mudah men-judge terhadap tradisi khitan perempuan yaitu tap-tiap benda yang digunakan memiliki makna secara simbolik. Sementara nilai religius erat dengan tradisi ini yaitu ditemukan nilai-nilai lain seperti nilai etis yang ditunjukkan untuk pengajaran kepada anak dan agar kelak mereka menjadi manusia yang beradab. (Humas UGM/ Agung)