Eksistensi kedaulatan suatu negara merupakan prinsip hakiki dari negara-bangsa (nation-state) dan menjadi asas utama dalam hubungan internasional, termasuk dalam perjanjian investasi bilateral atau Bilateral Investment Treaty (BIT). BIT ini berfungsi sebagai instrumen hukum internasional untuk mendukung tata kelola Penanaman Modal Asing yang dibangun di atas premis hubungan reciprocal atau hubungan timbal balik yang saling menguntungkan (mutual benefit) antara perlindungan investasi bagi negara asal investor (home state) pada satu sisi, serta pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran negara tuan rumah (host state) pada sisi lain.
Mutia Evi Kristhy, S.H., M.Hum, dosen Fakultas Hukum Universitas Palangkaraya, menuturkan secara teoretis penandatanganan BIT akan memberikan manfaat bagi negara tuan rumah dan investor. Sayangnya, implementasi BIT saat ini menimbulkan perdebatan dan kritik. BIT yang seharusnya menunjukkan karakter hubungan timbal balik, ternyata hanya bersifat formalitas dan tidak seimbang karena implementasinya lebih menguntungkan investor negara-negara maju.
Kritik dan perdebatan paling tajam muncul dalam wacana di tingkat nasional dan internasional karena rezim BIT dipandang tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi semata, melainkan juga memengaruhi aspek penting dari suatu negara yaitu kedaulatan tuan rumah. Pemerintah Indonesia pun mengambil kebijakan terminasi sejumlah BIT dan salah satu faktor penyebab terminasi karena kerangka BIT dan implementasinya saat ini dapat menginterferensi kedaulatan regulatif, yudikatif dan adminitrasi negara tuan rumah.
“Karena itu, berdasar latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi suatu prinsip alternatif bagi pemerintah Indonesia untuk membangun suatu kerangka BIT dengan tetap berpegang pada prinsip perlindungan investor dan menjaga kedaulatan negara. Prinsip tersebut berupa prinsip Right to Economic Self- Determination (RESD),” ucap Mutia Evi di Fakultas Hukum UGM, Kamis (18/7).
Mengungkap persoalan tersebut dalam ujian terbuka Program Doktor Fakultas Hukum UGM, Mutia Evi menuturkan pemerintah Indonesia dapat melindungi kedaulatannya dalam negosiasi dan formulasi BIT dengan negara mitra atas dasar prinsip RESD. Klaim RESD sendiri dimiliki oleh Indonesia karena negara dapat membuktikan bahwa Indonesia memiliki kemauan dan kemampuan menjalankan tiga prinsip utama implementasi kedaulatan negara.
Ketiga prinsip utama kedaulatan tersebut adalah bertanggung jawab (responsibility), sesuai tata pemerintahan yang baik (good governance) dan standar keadaban (standard of civilization) internasional. Ketiga prinsip tersebut diwujudkan dalam kemauan dan kemampuan negara untuk menjamin polical good dalam menjalankan hubungan investasi asing dengan investor asing dan negara mitra.
“Political good dalam konteks ini adalah pemerintahan yang demokratis (democracy), supremasi hukum (rule of law), tata pemerintahan yang baik (good governance) dan pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Dalam disertasinya berjudul Relevansi Prinsip Right To Economic Self Determination Terhadap Kedaulatan Indonesia Dalam Bilateral Investment Treaty (BIT), Mutia Evi kembali menandaskan bila Indonesia memiliki posisi tawar dalam negosiasi dan formulasi BIT. Berdasar relevansi prinsip RESD dalam konteks BIT, prinsip ini menjamin dua fungsi yaitu melindungi Indonesia dan melindungi kepentingan investor asing.
Perlindungan terhadap investor tercermin dalam pemenuhan ekspektasi investor, diantaranya risiko perlakuan sewenang-wenang dan diskriminasi serta jaminan hukum yang transparan, konsisten dan adil. Selain itu, adanya insentif dari negara tuan rumah untuk investor asing setelah investasi dilakukan dan lain-lain.
“Seluruh ekspektasi tersebut secara prinsip dapat dipenuhi karena pemerintah Indonesia memiliki kemampuan dan kemauan negara untuk menjamin suatu pemerintahan yang demokratis berdasarkan supremasi hukum, menjamin tata pemerintahan yang baik dan pemberantasan korupsi dalam seluruh proses penanaman modal asing di dalam negeri,” tutur Mutia Evi didampingi tim promotor Prof. M. Hawin, S.H., LL.M., Ph.D dan Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A. (Humas UGM/ Agung)