Gempa bumi berkekuatan 5,9 SR yang mengguncang Daerah istimewa Yogyakarta pada 2006 silam menelan banyak korban jiwa dan kerusakan bangunan. Meski telah 13 tahun berlalu, peristiwa gempa tersebut masih menyisakan luka dan duka bagi masyarakat Yogyakarta, termasuk yang mengalami kecacatan akibat gempa.
Korban gempa terbanyak berasal dari Bantul. Data Dinas Sosial Kabupaten Bantul 2017 mencatat terdapat 891 orang difabel daksa akibat gempa bumi dengan kondisi yang bervariasi.
“Difabel yang mengalami kecacatan sejak lahir tidak mengalami banyak hambatan dalam menjalani kehiduapn sehari-hari. Namun, difabel akibat gempa di Bantul yang mengalami kecacatan saat telah dewasa atau remaja membutuhkan banyak adaptasi dengan berbagai kondisinya yang sekarang,” papar Astri Hanjarwati, Senin (29/7) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Geografi UGM.
Dosen Prodi Sosiologi UIN Sunan Kalijaga ini menyebutkan difabel akibat gempa mengalami trauma, kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dipecat dari tempat kerja, sulit mendapat pekerjaan, aksesibilitas pendidikan juga mengalami hambatan. Bahkan, kondisi lebih parah terjadi pada mereka yang cacat akibat cedera tulang belakang (penyandang paraplegia). Mereka mengalami penurunan motorik dan sensorik gerak tubuh karena cedera sumsum tulang belakang sehingga mengalami kelumpuhan total. Dalam menjalankan aktivitas sehar-hari sangat bergantung pada kursi roda.
Melakukan penelitian di enam kecamatan Bantul dengan jumlah penyandang paraplegia terbanyak yaitu di Piyungan, Bambanglipuro, Jetis, Swon, Pleret, serta Pundong, Astri berusaha mengungkap lebih mendalam faktor-faktor penyebab menjadi penyandang paraplegia serta resiliensi setelah bencana. Hasilnya menunjukkan menjadi penyandang paraplegia merupakan sebuah risiko yang tidak hanya ditentukan oleh ancaman, kerentanan dan kapasitas, tetapi juga ditentukan oleh respon.
Sementara itu, resiliensi pada penyandang paraplegia dicapai melalui empat fase yakni fase stress, fase penerimaan diri dan adaptasi, fase pengembangan diri, serta fase resilien. Sedangkan pol-pola adaptasi penyandang para plegia adalah penyandang paraplegia yang tergantung keluarga, penyandang paraplegia yang mandiri, dan paraplegia yang mandiri serta produktif.
“Modal sosial merupakan aset penghidupan penyandang paraplegia yang mengalami kenaikan, tetapi modal manusia, modal fisik dan modal keunganan mengalami penurunan,” terangnya. (Humas UGM/Ika)