Kota Yogyakarta secara spasial mengalami perkembangan lahan terbangun yang cukup cepat. Perkembangan perkotaan Yogyakarta semakin meningkat pada tahun 1990 sejak dibangunnya jalan lingkar Yogyakarta. Fenomena paling menonjol adalah ekspansi lahan terbangun perkotaan.
“Proses ekspansi ini sangat berpengaruh pada kenyamanan lingkungan tempat tinggal suatu daerah. Ekspansi lahan terbangun yang tidak terkontrol juga mengakibatkan hilangnya lahan vegetasi perkotaan,” urai Iswari Nur Hidayati, di Fakultas Geografi UGM, Selasa (30/7).
Mempertahankan disertasi berjudul Penyusunan Model Urban Biophysical Environment Quality Wilayah Perkotaan Yogyakarta Berdasarkan Karakteristik Spektral Citra dan Data Multi Resolusi, Iswari menjelaskan dari pemodelan yang dilakukan diketahui bahwa 2,75% dari area penelitian dikategorikan sangat tidak nyaman seluas 346,35 hektare. Area yang tidak nyaman terdistribusi pada Kabupaten Bantul, yakni di sebagian Kecamatan Banguntapan, Kasihan, Piyungan, serta Sewon. Selanjutnya Kota Yogyakarta di sebagian Kecamatan Danurejan, Gondomanan, Jetis, Kotagede, Kraton, Mantrijeron, Ngampilan, dan Wirobrajan.
“Sementara di Kabupaten Sleman di Kecamatan Berbah dan Depok,” ungkap Dosen Fakultas Geografi UGM ini.
Ketidaknyamanan yang terjadi, kata dia, lebih banyak dipengaruhi banyaknya jumlah kendaraan bermotor yang berkonsekuensi mengeluarkan asap kendaraan bermotor dengan area dalam ringroad. Polusi udara akibat asap kendaraan bermotor tersebut menyebabkan penurunan kualitas udara di Kota Yogyakarta.
“Di beberapa wilayah perkotaan Yogyakarta mengalami penurunan kualitas, C0 dan PM10 termasuk kategori sedang. Oleh sebab itu, pemerintah Yogyakarta perlu mengambil langkah antisipatif terkait hal itu,” tegasnya.(Humas UGM/Ika)