Kebijakan pelayanan obat untuk peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menyatakan bahwa pelayanan obat untuk peserta JKN pada fasilitas kesehatan berpedoman pada daftar dan harga obat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam bentuk Formularium Nasional (Fornas).
Dalam penerapannya, implementasi Fornas masih menghadapi berbagai kendala.
“Fakta di lapangan menunjukkan tidak sedikit hambatan yang dihadapi dalam proses implementasi Fornas, dan keterbatasan sumber daya finansial dari sistem pembayaran INA-CBGs menjadi isu yang berpotensi menjadi kendala dalam implementasi Fornas di rumah sakit,” tutur Endang Yuniarti saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Jumat (16/8).
Indonesia menempatkan penyelenggaraan JKN sebagai prioritas pertama dari tujuh prioritas reformasi kesehatan dan sebagai tulang punggung untuk mendukung semua aspek reformasi pembangunan kesehatan.
JKN, kutipnya, adalah upaya untuk mewujudkan universal coverage di Indonesia yang dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 2014 hingga 2019.
Endang menyebut, biaya pelayanan kesehatan terus meningkat dari tahun ke tahun di negara mana pun. Tidak ada satu negara pun yang memiliki sumber daya tak terbatas untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi warganya sehingga definisi pelayanan kesehatan yang baik adalah kegiatan memberikan pelayanan kesehatan yang efektif, aman, bermutu, yang memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat dan perseorangan tersedia ketika dibutuhkan dan tidak memboroskan sumber daya.
Dalam disertasinya yang berjudul “Rationing sebagai Upaya Penyesuaian dalam Implementasi Kebijakan Pelayanan Obat bagi Peserta Jaminan Kesehatan Nasional di Rumah Sakit” ia memaparkan faktor-faktor yang memengaruhi proses implementasi Fornas, baik yang berasal dari faktor teknis, faktor intrinsik dari Fornas dan regulasi yang terkait, maupun faktor ekstrinsik yang terkait dengan kondisi rumah sakit.
Kekosongan obat dan lamanya waktu pengiriman obat, jenis obat dan restriksi Fornas serta keterpaduan Fornas dengan regulasi lain yang terkait, perilaku penggunaan obat, kondisi keuangan rumah sakit, serta belum adanya dukungan teknologi informasi ia sebut menjadi faktor-faktor yang menghambat proses implementasi Fornas.
“Kendala-kendala dalam implementasi Fornas menyebabkan pelayanan obat sesuai Fornas baik dari sisi jenis, jumlah, maupun restriksi belum sepenuhnya tercapai,” terangnya.
Sementara itu, faktor-faktor yang mendukung meliputi pola penggunaan obat yang mengutamakan obat generik dan obat berbiaya rendah, kondisi keuangan rumah sakit, sikap pemberi pelayanan terhadap Fornas, peresepan elektronik, serta dukungan pasien.
Upaya yang penting untuk mengatasi kendala dalam proses implementasi Fornas, menurutnya, adalah meningkatkan pemahaman manajemen rumah sakit dan pemberi pelayanan terkait konsep obat esensial dan penguatan proses terapi berbasis first line therapy.
“Penyusunan CP/PPK harus mengutamakan obat pilihan utama dan berbasis Fornas dan penguatan peran KFT dalam pemilihan obat berbiaya tinggi melalui aplikasi HTA penting untuk dilakukan,” imbuhnya. (Humas UGM/Gloria)