Cita-cita setiap negara saat mengembangkan jaminan kesehatan nasional adalah untuk dapat menyediakan kesehatan esensial yang bermutu untuk semua warganya tanpa hambatan finansial. Meski terlihat sederhana upaya mewujudkan cita-cita ini sangatlah kompleks, memerlukan integrasi berbagai upaya menjaga keseimbangan antara cakupan kepesertaan, cakupan perlindungan finansial dan cakupan pelayanan yang bermutu.
Dr. Hanevi Djasri, MARS., FISQua, peneliti di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, menyatakan meski berupaya mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi warga, namun berbagai upaya monitoring dan evaluasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat ini masih terbatas pada proses pengukuran cakupan kepesertaan, cakupan finansial dan cakupan pelayanan. Monitoring dan evaluasi JKN belum sampai mengukur mutu pelayanan kesehatan yang diterima oleh masyarakat dengan indikator utama efektifitas pelayanan kesehatan.
“Di tataran internasional pun tidak kurang Direktur Jenderal WHO menyatakan keprihatinannya terhadap isu mutu dalam JKN ini hingga ia pun menyatakan tidak ada gunanya suatu negara dapat menyediakan dan memberikan pelayanan bila mutunya di bawah standar atau bahkan membahayakan,” ujar Hanevi Djasri, di Auditorium FKKMK UGM, Jumat (30/8) saat menempuh ujian terbuka Program Doktor.
Hanevi menuturkan belum adanya pemantauan program JKN dengan menggunakan data cakupan efektif kemungkinan disebabkan karena penerapan sistem kesehatan dalam sub-sistem pembiayaan belum diikuti dengan perubahan mendasar pada sub-sistem lain yang terdapat pada Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2012, diantaranya sub-sistem upaya kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, obat dan pembekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan manajemen kesehatan.
Sub-sistem manajemen kesehatan mencakup kegiatan pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan. Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui berbagai perangkat regulasi yang meliputi upaya perijinan, peningkatan mutu dan keselamatan, pengaturan jumlah dan penyebaran fasilitas/ sumber daya manusia kesehatan, dan peran serta masyarakat dan media masa.
“Selama lima tahun pelaksanaan JKN tidak banyak perubahan dalam regulasi upaya kesehatan, termasuk dalam bentuk upaya perijinan dan peningkatan mutu dan keselamatan sehingga indikator mutu yang digunakan masih tetap sama seperti sebelum era JKN,” tuturnya.
ia juga melihat strategi nasional untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan di tingkat nasional belum jelas. Beberapa negara seperti Amerika Serikat memiliki National Quality Strategy (NQS) yang menjadi dasar bagi berbagai lembaga untuk menyusun, mengukur dan mengevaluasi indikator mutu pelayanan kesehatan pada berbagai jenis lembaga terkait satu sama lain. Center for Medicine and Medicaid Services sebagai lembaga penyelenggara jaminan kesehatan juga menggunakan NQS sebagai dasar untuk laporan pengukuran mutu mereka.
“Sistem informasi kesehatan yang belum terintegrasi juga membuat tidak tersedianya data cukup efektif dan data pelayanan PTM. Data layanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan primer dalam JKN menggunakan sistem informasi Primary Care (P-Care) yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistem informasi Puskesmas,” ungkapnya saat mempertahankan disertasi berjudul SPACE-JKN Memastikan Jaminan Kesehatan Nasional Bermanfaat Bagi Masyarakat Indonesia. (Humas UGM/ Agung)