Data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2017 menunjukkan bahwa sejumlah 79,6 persen rumah di Indonesia dibangun sendiri oleh masyarakat secara swadaya.
Meski pembangunan perumahan swadaya memiliki nilai positif bagi masyarakat, apabila pembinaan pemerintah kurang optimal, perumahan swadaya yang dibangun oleh masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan di bawah UMP menjadi tidak layak huni, tidak beraturan, dan membuat lingkungan perumahan menjadi kumuh.
“Keterbatasan MBR dalam pembangunan perumahan swadaya telah menimbulkan masalah semakin besarnya jumlah rumah tidak layak huni dan semakin luasnya kawasan permukiman kumuh,” tutur Poltak Sibuea saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Jumat (30/8) di Fakultas Geografi UGM.
Ia memaparkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada tahun 2015 yang menyebutkan bahwa sebanyak 2,51 juta rumah yang sudah terbangun tidak layak huni. Sementara itu, area kawasan permukiman kumuh mencapai 38.431 hektare.
Pemerintah, ujarnya, telah berupaya mengatasi permasalahan rumah tidak layak huni (RTLH) melalui program pembangunan perumahan swadaya, salah satunya yang saat ini masih diselenggarakan yaitu program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) untuk membantu MBR membangun baru dan meningkatkan kualitas rumah menjadi layak huni.
Pemerintah selama 5 tahun telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp13 Triliun yang terdiri atas 89 persen untuk pembangunan atau rehabilitasi fisik rumah dan 10 persen untuk penyiapan masyarakat serta sisanya 1 persen untuk operasional dan administrasi kegiatan.
Namun, program ini menurutnya belum efektif dalam membantu MBR dalam pembangunan perumahan swadaya layak huni. Alokasi anggaran untuk fasilitasi pemberdayaan masyarakat pun tidak memberikan kontribusi yang optimal dalam pelaksanaan program BSPS karena tidak dapat meningkatkan keswadayaan MBR penerima bantuan.
“Anggaran ini hanya dapat menghasilkan pembangunan baru dan peningkatan kualitas rumah sebanyak 684.500 unit atau rata-rata 137.000 unit per tahun,” paparnya.
Disertasinya yang berjudul “Penghidupan Masyarakat Berpenghasilan Rendah sebagai Pendukung Pembangunan Perumahan Swadaya Layak Huni di Kota Yogyakarta” memaparkan hasil kajian yang ia lakukan terkait bagaimana meningkatkan kapasitas keswadayaan MBR dalam pembangunan perumahan swadaya.
Kelayakan huni rumah secara fisik sendiri dapat diukur dengan penilaian dari empat aspek, yaitu keselamatan bangunan rumah yang mencakup struktur dan bahan bangunan untuk lantai, dinding, dan penutup atap, kecukupan minimum luas bangunan atau rasio luas lantai rumah per penghuni, kesehatan penghuni yang meliputi ketersediaan sarana MCK, air bersih dan minum, juga kecukupan pencahayaan dan penghawaan, serta keamanan bermukim.
Ia memaparkan, tingkat kelayakan rumah MBR dalam 5 tahun terakhir hampir sama, yaitu termasuk kategori layak antara 20 sampai 30 persen dan sisanya termasuk kategori kurang layak sebesar 40 sampai 70 persen, tidak layak, dan sangat tidak layak.
“Keswadayaan yang dikontribusikan dan bantuan yang diterima MBR dalam pembangunan perumahan swadaya baik pembangunan baru maupun rehabilitasi atau peningkatan kualitas tidak mampu membuat rumah menjadi layak huni,” imbuhnya.
Dalam rangka meningkatkan penghidupan MBR sebagai pendukung pembangunan perumahan swadaya layak huni, ia menyarankan perlunya identifikasi penghidupan MBR serta peningkatan kapasitas keswadayaan MBR sebagai pendukung pembangunan perumahan swadaya layak huni.
Ia juga menekankan perlunya peran perguruan tinggi melalui kegiatan pengabdian masyarakat untuk memfasilitasi pemberdayaan MBR sekaligus sebagai ajang untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman mahasiswa dalam pembangunan perumahan swadaya layak huni. (Humas UGM/Gloria)