Kelompok remaja merupakan kelompok usia yang rawan mengalami kenakalan dan masalah sosial lainnya. Hal tersebut dikaitkan dengan proses perkembangan manusia selama remaja yaitu masa pubertas.
Berbagai perubahan pubertas yang tidak dapat dijalani dengan baik sering kali menimbulkan masalah, salah satu di antaranya berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja.
Mahasiswa doktoral Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Endang Triyanto, merasa perlu adanya instrumen untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan reproduksi di kalangan remaja yang komprehensif dan memenuhi syarat uji.
“Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan reproduksi remaja telah ditemukan, namun belum sampai pada tahap penyusunan instrumen yang komprehensif,” ujarnya saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Selasa (3/9) di Auditorium Tahir FKKMK UGM.
Kelompok remaja yang menjadi subjek penelitiannya ini didefinisikan sebagai individu berusia sepuluh sampai 19 tahun. Di Indonesia, jumlah penduduk usia remaja tergolong cukup besar, sebanyak 57.347.425 jiwa atau sekitar 22,5 persen dari total penduduk menurut Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2015.
Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan reproduksi remaja, ujarnya, terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi dan pergeseran budaya. Beberapa penelitian terdahulu menjabarkan faktor risiko dan proteksi yang berkontribusi terhadap kesehatan reproduksi remaja meliputi faktor individu remaja itu sendiri, pengaruh teman sebaya, keluarga, media, pendidikan, ekonomi, serta pergeseran budaya dan norma masyarakat.
Dalam penelitiannya, ia berupaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan reproduksi di Banyumas, menghasilkan instrumen faktor perilaku kesehatan reproduksi remaja berdasarkan eksplorasi yang diperoleh, serta mengidentifikasi hubungan antara faktor-faktor perilaku kesehatan reproduksi remaja dari konstruk teori baru tersebut.
“Salah satu luaran disertasi ini adalah model pengukuran faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan reproduksi remaja sehingga diketahui hubungan antar faktor,” terangnya.
Ia memaparkan, faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan reproduksi remaja di Banyumas terdiri dari dimensi internal yang meliputi usia mulai pacaran terlalu dini, norma negatif yang dianut, ketidakberdayaan diri remaja, pengetahuan kesehatan reproduksi yang rendah, kebiasaan berisiko, dan gaya hidup bebas. Di samping itu, terdapat pula dimensi eksternal berupa pengaruh negatif teman sebaya, interaksi dengan keluarga yang tidak harmonis, dan lingkungan berisiko.
Dari penelitian tersebut, ia berhasil menyusun instrumen komprehensif yang telah teruji secara statistik, mulai dari uji diskriminasi, uji reliabilitas, dan uji validitas isi, dengan interpretasi pengukuran yang terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.
Instrumen ini, ujarnya, dapat dimanfaatkan pihak sekolah untuk mengidentifikasi siswanya secara berkala tentang faktor-faktor perilaku kesehatan reproduksi sehingga diketahui sejak dini kelompok high risk dan low risk.
“Kelompok siswa yang tergolong high risk harus mendapatkan perhatian yang lebih dibanding dengan kelompok low risk. Pihak sekolah dapat berkoordinasi dengan tenaga kesehatan maupun praktisi psikolog sehingga perilaku berisiko dapat diatasi sejak dini,” kata Endang.
Ia juga menekankan perlunya keterlibatan orang tua dalam pelatihan asertif bagi remaja yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan remaja dalam menolak ajakan teman yang tidak baik. Kemampuan asertif remaja, ujarnya, menjadi faktor proteksi untuk melindungi diri dari pengaruh buruk teman dan lingkungan. (Humas UGM/Gloria)