Selama tiga abad terakhir, terjadi perubahan pola makan dan aktivitas fisik yang sangat cepat di berbagai belahan dunia. Perubahan ini sangat berdampak pada profil kesehatan masyarakat yang terlihat pada kecepatan peningkatan prevalensi penyakit terkait sindrom metabolik di negara maju maupun negara berkembang.
Penyandang penyakit terkait sindrom metabolik umumnya mengalami stres oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas, yang memperparah penyakit dan memicu komplikasi. Dalam kondisi seperti inflamasi yang merupakan ciri khas sindrom metabolik, produksi radikal bebas berlebihan sehingga sistem pertahanan tubuh tidak mampu mengatasi stres oksidatif.
“Asupan antioksidan dari luar diperlukan bagi penyandang penyakit terkait sindrom metabolik,” tutur Prof. Dr. Dra. Sunarti, M.Kes. dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar, Senin (9/9) di Balai Senat UGM.
Menurut World Health Organization (WHO), faktor nutrisi memengaruhi lebih dari dua pertiga kejadian penyakit di seluruh dunia. Asupan nutrisi yang tidak seimbang, baik jumlah maupun jenisnya, memicu sindrom metabolik.
Sindrom metabolik sendiri merupakan gangguan kesehatan yang penyebab utamanya adalah pola maka tidak sehat dan aktivitas fisik yang rendah.
“Sindrom metabolik ditandai dengan obesitas sentral di bagian perut, resistensi insulin, hipertensi, serta hiperlipidemia, dan menjadi bahaya kesehatan utama di dunia modern,” terang Ketua Departemen Biokimia FKKMK UGM ini.
Dalam kesempatan ini, Sunarti memaparkan terapi nutrisi bagi sindrom metabolik dari sudut pandang nutrigenomik. Gangguan kesehatan ini bersifat kronis dan memerlukan penanganan jangka panjang agar tidak memicu perkembangan penyakit, seperti diabetes melitus (DM) tipe 2, penyakit jantung koroner, dan cacat lainnya.
Salah satu penanganan sindrom metabolik yang banyak disarankan, ujarnya, adalah terapi nutrisi.
“Dalam terapi nutrisi jenis dan jumlah komponen dalam makanan harus tepat dan sudah terbukti memberikan manfaat bagi kesehatan,” jelasnya.
Ia menambahkan, uji manfaat makanan bagi kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui analisis ekspresi gen sampai metabolisme yang tercakup dalam ilmu nutrigenomik.
Nutrigenomik merupakan paradigma pendekatan baru dalam penelitian nutrisi yang mengintegrasikan teknologi dari genomik fungsional, bioinformatika dan biologi molekuler, dengan teknik epidemiologi, nutrisi, dan biokimia.
Ia menyebut bahwa banyak bahan pangan lokal seperti gembili, labu kuning, ubi jalar oranye, dan jagung ungu, selain kaya serat juga mengandung banyak antioksidan yang diperlukan terutama bagi penyandang penyakit terkait sindrom metabolik.
“Nutrigenomik kami gunakan sebagai dasar pengembangan makanan fungsional kaya serat dan antioksidan umbu yang disingkat KASABI dari bahan pangan lokal, yaitu garut dan labu kuning,” ucap Sunarti.
Snack KASABI, terangnya, mengandung serat sebanyak 11,7 persen dan beta karoten 3132ug persen dengan nilai indeks glikemik 69,14 atau termasuk kategori sedang. Konsumsi KASABI menurutnya bermanfaat untuk mengatasi kondisi inflamasi dan stres oksidatif, juga dapat menurunkan indeks HOMA IR orang obese, yang berarti dapat menurunkan risiko penyakit DM tipe 2. (Humas UGM/Gloria;foto:Firsto)