Indonesia merupakan negara dengan megabiodiversitas yang kaya dengan keanekaragaman hayati, termasuk jenis flora atau tumbuhan. Dari berbagai tanaman itu terdapat beberapa yang endemik atau khas Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Kepel (Stelechocarpus burhanol) merupakan flora identitas provinsi DIY,” ungkap Guru Besar Ilmu Taksonomi Tumbuhan UGM, Prof. Dr. Purnomo, M.S., Sabtu (21/9) di Auditorium Fakultas Biologi UGM.
Dalam seminar Tumbuhan Khas dan Langka DIY, Koleksi Museum Biologi UGM Serta Tanaman Kopi di Indonesia tersebut dia mengatakan bahwa kepel belum termasuk dalam daftar spesies dilindungi menurut Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999. Spesies ini juga belum terdaftar dalam IUCN Red List.
Purnomo menjelaskan kepel menjadi tanaman yang dipercaya memiliki nilai filosofi adiluhung bagi masyarakat DIY. Pohon ini melambangkan bersatunya niat dengan kerja atau sebagai lambang kesatuan dan keutuhan mental dan fisik.
“Makna dari kepel adalah genggaman tangan manusia yang berarti gerget atau niat dalam bekerja,”terangnya.
Selain tanaman kepel, terdapat sejumlah tanaman lain yang menjadi khas dan langka di DIY. Salah satunya adalalah keben (Baringtonia asiatica) yang sering disebut sebagai pohon perdamaian. Di lingkungan Keraton Yogyakarta, pohon ini memiliki filosofi tersendiri. Keben berasal dari kata Hangrungkebi jejering bebener yang artinya merangkul kebenaran. Pohon ini sekaligus melambangkan manusia harus menjunjung tinggi nilai kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih lanjut Purnomo mengugkapkan beberapa tanaman khas dan langka DIY lainnya yakni beringin (Ficus benjamina) yang memiliki filosofi kokoh kuat dan mengayomi. Selanjutnya jambu dersana (Eugenia jambos) yang berasal dari kara sudarsana berarti suri tauladan. Tanaman ini memiliki filosofi bahwa pemimpin harus bisa menjadi contoh terhadap yang dipimpinnya.
Berikutnya, gayam (Inocarpus eudulis) dalam bahasa Jawa berarti nggayuh atau meraih sesuatu. Hal ini dimaksudkan agar manusia mempunyai keinginan mencari jalan keutamaan hidup, mengharap anugerah dan berkah Sultan. Pohon ini sekaligus melambangkan ayom (teduh) atau ayem (tentram).
“Tanjung (Mimuspos elengi) dan sawo kecik (Manilkara kauki) juga menjadi tanaman khas dan langka di DIY,”tutur dosen Fakultas Biologi UGM ini.
Dalam kesempatan itu, Purnomo juga menyampaikan sejumlah tanaman khas Indonesia yang keberadaanya sudah tergolong langka. Beberapa diantaranya yaitu buni, manggis, kantil, klerak, sawo bludru, kepuh, serta kemenyan. Berbagai tanaman tersebut telah menjadi koleksi Museum Biologi UGM
Dia memaparkan banyak spesies tanaman menjadi langka dan terancam punah karena mengalami tekanan populasi di habitat alamiahnya. Berbagai faktor yang menyebabkan kepunahan spesies tanaman di alam seperti perubahan iklim, kebakaran hutan, pembalakan, pemanfaatan berlebihan, serta pembukaan lahan pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Sementara Kepala Museum Biologi UGM, Donan Satria Yudha, S.Si., M.Sc., menyebutkan bahwa Museum Biologi UGM yang berdiri pada 1969 mengoleksi berbagai jenis tanaman dan satwa liar di wilayah Indonesia. Koleksi tersebut sebagian besar merupakan hasil penelitian maupun eksplorasi mahasiswa dan dosen Fakultas Biologi UGM. Semenatara sebagian koleksi lainnya adalah hibah perorangan dan penitipan spesies tanaman dan satwa liar dari BKSDA Yogyakarta.
“Ada lebih dari 6 ribuan koleksi tanaman herbarium, dan 3 ribuan koleksi basah dengan koleksi tertua dari 1800-an dan 90 persen merupakan tanaman lokal Indonesia,”jelasnya.
Seminar kali ini diikuti oleh puluhan peserta dari kalangan akademisi, Barahmus DIY, kepala museum di DIY, MGMP Biologi DIY, guru biologi SMP dan SMA, serta balai penelitian. Penyelenggaraan seminar merupakan bagian dari rangkaian peringatan 50 tahun Museum Bilogi UGM dan menjadi wahana transfer pengetahuan terutama terkait tumbuhan lokal Indonesia termasuk DIY. (Humas UGM/Ika)