Tim Bencana Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) dan RSUP Dr. Sardjito meluncurkan buku Siaga di Negeri Bencana.
Buku ini berisi catatan lapangan tim saat membantu korban bencana geologi di Indonesia selama kurun waktu 15 tahun.
“Narasi buku diawali dengan kisah tim saat tsunami Aceh pada Desember 2004 hingga tsunami Selat Sunda yang menghantam Banten dan Lampung pada Desember 2018,” tutur dr. Hendro Wartatmo, SpB., KBD selaku salah satu anggota tim penulis dan editor buku.
Tidak hanya itu, buku yang ditulis juga mengungkapkan pengalaman pribadi salah satu anggota tim yang terlibat dalam penanganan bencana kelaparan di Kabupaten Lombok Tengah, NTB, tahun 1980, serta erupsi Merapi tahun 1994.
Isi buku ini diulas secara singkat dalam acara soft launching dan bedah buku, Rabu (10/2) yang diadakan untuk memperkenalkan karya tersebut sekaligus menyosialisasikan mitigasi bencana kepada masyarakat awam dan membuka cakrawala pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya kesiapsiagaan bencana di Indonesia.
Sebagai negara yang terletak di wilayah cincin api dunia dengan karakteristik geografis rawan bencana, Indonesia memang banyak mengalami bencana alam. Hendro memaparkan, bencana geologi mulai dari gempa, tsunami, erupsi gunung berapi, longsor, banjir, dan likuefaksi merupakan peristiwa alam yang terjadi secara tak terduga dan tak mengenal waktu.
Dampak yang ditimbulkan pun sangat besar, seperti hancurnya infrastruktur bangunan, rusaknya infrastruktur sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, hingga jatuhnya korban jiwa.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNISDR) mencatat bahwa bencana geologi di Indonesia sendiri, berdasarkan kategorisasi jenis bencana paling merusak yang disusun UNISDR, jumlah korban jiwa akibat gempa dan tsunami pada September 2018 mencapai 3.400 orang, sementara jumlah korban jiwa akibat gempa pada Agustus 2018 mencapai 453 orang.
“Kehadiran bencana memang tidak bisa dicegah, akan tetapi masih mungkin untuk melakukan tindakan yang mampu mengurangi risiko akibat paparan dampaknya,” katanya.
Senada dengan hal tersebut, Suparlan, S.Sos.I., NA., C.EIA. mewakili Society for Health, Education, Environment and Peace (Yayasan SHEEP) Indonesia, mengungkapkan bahwa kesiapsiagaan dan upaya mitigasi bencana sangat diperlukan terutama untuk menurunkan angka cedera, hilang, dan jatuhnya korban jiwa.
“Modelnya sekarang tidak bisa kita menunggu bencana. Apa yang bisa kita lakukan adalah bagaimana kita mengurangi itu,” tuturnya.
Kejadian seperti gempa bumi dan tsunami, menurutnya, adalah ancaman yang belum tentu menjadi bencana. Karena itu, dalam konteks pengurangan bencana, pencegahan menjadi hal yang penting untuk mengelola ancaman tersebut agar tidak menjadi bencana.
Terkait penanganan bencana, ia menekankan perlunya edukasi bagi orang-orang yang tergerak untuk menjadi relawan, agar penanganan dapat dilakukan secara efektif dan sesuai kebutuhan.
“Kalau mau membantu saat bencana jangan hanya nekad, tapi harus ada ilmunya juga,” ucap Suparlan. (Humas UGM/Gloria)