Kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak dan Indonesia (KPAI) tahun 2011-2016, ditemukan sebanyak 4.609 kasus yang berkaitan anak yang menjadi korban tindak pidana. Dari jumlah tersebut 43,41 persen diantaranya merupakan kasus tindak pidana kekerasan seksual atau kejahatan seksual. Hal ini menunjukkan bukti bahwa anak-anak masih menjadi korban kekerasan seksual sehingga perlu mendapat perhatian khusus dari semua kalangan. Apalagi, kekerasan seksual terhadap anak bukan merupakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban di masyarakat, namun bisa mengancam masa depan generasi bangsa.
Penelitian yang dilakukan mahasiswa program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UGM, I Nyoman Ngurah Suwarnatha, S.H., L.L.M., mengenai diskursus penerapan sanksi kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia, menurutnya, sanksi tindakan kebiri kimia ditinjau dari tujuan pemidanaan tidak semata-mata untuk pembalasan atas tindak pidana kekerasan seksual yang sudah dilakukan pelaku. Sebaliknya, mampu memberikan perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawan psikiatri atau rehabilitasi bagi pelaku kekerasan agar menyadari kesalahannya. “Tindakan ini juga memulihkan gangguan seksual yang diderita pelaku,” kata Suwarnatha dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Hukum UGM, Rabu (2/10).
Menurutnya, pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang dikenakan perawatan psikiatri berupa tindakan kebiri kimia sebaiknya pelaku yang memiliki gangguan seksual atau perilaku paraphilia dan pelaku menyesali perbuatannya yang dengan sadar memohon perawatan psikiatri.
Ia menyimpulkan, diskursus mengenai penerapan sanksi kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak saat ini dianggap mendesak karena tingginya kasus kekerasan seksual pada anak sehingga diperlukan aturan yang mampu melindungi anak-anak dari kekerasan seksual sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku dan mewujudkan rasa keadilan bagi korban.
Ia pun mengusulkan agar pemerintah dan DPR mengkaji ulang mengenai batas waktu maksimal penerapan sanksi tindakan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan dalam ketentuan pasal 81A (1) Perppu nomor 1 tahun 2016 mengenai jangka waktu pengenaan sanksi tindakan kebiri paling lama dua tahun. Sebab, proses pengobatan terhadap gangguan seksual memerlukan jangka waktu yang berbeda-beda dan agar jangan sampai proses pengobatan dan perawatan psikiatri melalui tindakan kebiri kimia tidak tuntas.
Selain itu, katanya, pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan sanksi tindakan kebiri kimia. Selanjutnya, memberikan batasan yang tegas mengenai kriteria pelaku kekerasan seksual yang dapat dikenakan sanksi tindakan kebiri kimia maupun yang tidak dapat dikenakan sanksi. (Humas UGM/Gusti Grehenson)