Infeksi Human papillomavirus (HPV) terjadi setelah adanya aktivitas seksual. Infkesi virus HPV ini sering terjadi pada remaja perempuan di usia 16-20 tahun. Apabila infeksi ini tidak diobati maka dapat berkembang menjadi kanker serviks pada usia 20-30 tahun. Namun demikian, tidak tidak seperti kebanyakan penyakit kanker lainnya, kanker serviks sebenarnya dapat dicegah melalui pemeriksaan rutin untuk mendeteksi dan menghilangkan lesi pra kanker. Oleh karena itu, pencegahan infeksi HPV perlu digalakkan melalui edukasi dan imunisasi HPV terutama di sekolah-sekolah .
Dosen Departemen Keperawatan Anak dan Maternitas, FKKMK UGM, Wiwin Lismidiati, melakukan penelitian kualitatif pada siswi, orang tua dan guru di Sekolah Menegah Pertama (SMP) di wilayah Bantul dan Sleman pada tahun akhir 2017 hingga April 2019. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa masih kurangnya pemahaman, kekhawatiran terkait keamanan dan efektifitas vaksin, serta imunisasi vaksin HPV dianggap belum menjadi kebutuhan kesehatan.
Wiwin menyebutkan kendala utama pelaksanaan vaksinasi HPV di sekolah terkait dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Selain biaya vaksin yang tinggi juga ditambah belum adanya rekomendasi dari dokter menjadi faktor yang berpengaruh terhadap penerimaan para siswa, guru dan orang tua tentang vaksinasi HPV. “Sebagian besar responden mengharapkan program vaksinasi dilaksanakan gratis,” kata Wiwin dalam ujian terbuka promosi doktor di FKKMK UGM, Rabu (4/12).
Selain biaya yang tinggi, alasan agama menjadi hambatan bagi orang tua dalam menerima tindakan vaksinasi. Beberapa responden mengatakan penolakan dari informasi pandangan agama yang mereka yakini bahwa vaksin tidak diperbolehkan karena mengandung unsur babi yang dianggap tidak halal.
Hampir sebagian besar orang tua dalam penelitian ini belum sepenuhnya memahami soal vaksin HPV. Sebab, belum ada anjuran dari Puskesmas tentang vaksinasi HPV pada remaja untuk mencegah kanker serviks. “Tentu alasan pembiayaan vaksin yang mahal menjadi pertimbangan mereka untuk mengizinkan vaksinasi HPV pada anak perempuannya,” katanya.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat persetujuan orang tua sangat menentukan sebagai pemegang keputusan utama dalam tindakan anaknya. Apalagi mereka tidak percaya anaknya akan tertular infeksi HPV karena masih kecil, ditambah adanya kekhawatiran tentang keamanan dan efek samping vaksin. Namun begitu, sekitar 80 persen orang tua menyatakan bersedia terhadap program vaksinasi HPV yang sedang digalakkan pemerintah. (Humas UGM/Gusti Grehenson)