Indonesia merupakan negara maritim yang proporsi lautannya mencapai 76,940 persen dibanding daratannya. Lautan yang luas tersebut memiliki potensi besar, seperti keanekaragaman sumber daya hayati, mineral dan energi, industri, transportasi laut, serta peninggalan kapal kuno yang tenggelam.
Salah satu lokasi perairan potensial tersebut berada di Selat Makassar. Alasan kenapa selat ini terbilang potensial karena padatnya lalu lintas perkapalan di sana. Selain itu, lokasi selat ini juga berada di antara beberapa kota besar yang total penduduknya lebih dari 500 ribu jiwa, yakni Makassar, Samarinda, Banjarmasin, dan Balikpapan.
Akan tetapi, potensi lautan ini dipengaruhi oleh parameter-parameter cuaca, khususnya curah hujan. Akibat dari curah hujan ini dapat memengaruhi ketersediaan ikan di laut. Selain itu, hujan juga dapat mengakibatkan bencana yang merugikan manusia.
Oleh karena itu, pemerintah saat ini tengah berfokus untuk memperbaiki sistem informasi hidrometeorologi. Hal itu sekaligus sejalan dengan program pemerintah yang menginginkan Indonesia menjadi poros maritim dunia.
Permasalahan inilah yang menjadi fokus bahasan dari disertasi Giarno, mahasiswa S3 Ilmu Geografi UGM. Hal tersebut ia sampaikan dalam Ujian Promosi Doktoralnya pada Senin (9/12) lalu di Auditorium Merapi, Fakultas Geografi UGM.
Sejauh ini, menurut Giarno, pemerintah selama ini mengalami kesulitan dalam memperoleh data curah hujan, utamanya di laut. Untuk di Selat Makassar, ia menyebutkan pemerinah selama ini hanya memiliki data di sekitar daratan bagian timur dan barat selat. “Itupun belum memenuhi standar WMO sehingga diperlukan sarana lain untuk menutupi kekurangan ini,” ungkapnya.
Untuk itu, Giarno menyarankan alternatif dengan mengambil data remote sensing dari satelit atau radar untuk menyadap presipitasi, walaupun akurasinya bervariasi tiap waktu dan tempat. Produk yang banyak digunakan untuk ini adalah Tropical Rainfall Measurement Mission (TRMM) karena dapat diakses secara gratis. “Kekurangannya dari produk ini hanya akurasi dari estimasi datanya di Indonesia,” terangnya.
Namun, Giarno menyebut akurasi dari data estimasi curah hujan satelit tersebut bisa ditingkatkan dengan menggunakan teknik merging. Teknik ini menggabungkan dua jenis pengukuran data curah hujan yang berbeda sifatnya. “Cara ini sangat bermanfaat untuk memprediksi kekeringan, hidrologi, maupun manajemen sumber daya air, terutama jika data rain gauge terbatas. Meskipun demikian, akurasi dari mergin ini juga bervariasi terhadap waktu dan tempat,”ujarnya.
Walaupun demikian, Giarno tetap merekomendasikan teknik ini diterapkan oleh BMKG, BNPB, dan instansi terkait untuk keperluan early warning. Selain itu, menurutnya, instansi-intansi tadi tentu harus menambah radar cuaca untuk ke depannya. Hal tersebut harus dilakukan agar akurasi dalam memprediksi cuaca menjadi lebih optimal. (Humas UGM/Hakam)