Peternakan terbukti berkontribusi pada pencemaran tanah dan air. Pencemaran tersebut diantaranya berupa limbah peternakan yang menghasilkan emisi gas metan dan berakibat pada perubahan iklim. Kajian lntergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2014 melaporkan tingkat penggunaan lahan untuk pertanian, hutan, dan penggunaan lain (AFOLU-Agriculture, Forestry and Other Land Use) yang menghasilkan emisi gas rumah kaca meningkat dua kali lipat sejak 50 tahun lalu dan diproyeksikan akan terus meningkat hingga tahun 2050.
Emisi gas rumah kaca terbesar dari sektor pertanian ini berasal dari fermentasi enterik, alih fungsi lahan untuk ladang hijau, penggunaan pupuk, dan kotoran ternak yang justru banyak didominasi oleh gas metana apabila tidak terolah. Banyak pihak memahami bahwa emisi gas metana berpotensi menyebabkan pemanasan global 21 kali lebih besar dibandingkan gas karbon dioksida.
“Fakta ini mau tidak mau mendorong kita untuk menerapkan praktik peternakan terintegrasi yang dapat dikelola untuk menyuplai kebutuhan pangan dalam negeri sekaligus ramah lingkungan dengan dikelolanya limbah peternakan dengan baik dan bernilai ekonomi,” kata Prof. Ir. Ambar Pertiwiningrum, M.Si., Ph.D., IPM, ASEAN Eng, di Balai Senat UGM, Selasa (17/12).
Dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Teknologi Kulit, Hasil Ikutan, dan Limbah Peternakan pada Fakultas Peternakan UGM, Ambar menyebut sektor pertanian di Indonesia termasuk peternakan telah menduduki peringkat ke-5 dari 20 negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dunia setelah China, India, Brazil dan Amerika Serikat. Pertanyaannya, akankah negara ini terus mempertahankan peringkat ke-5 penyumbang emisi gas rumah kaca di sektor pertanian?
“Analisisnya perlu adanya revitalisasi pengelolaan limbah peternakan dan hasil ikutannya yang ramah lingkungan dan berorientasi pada prinsip 3 R, Reduce, Re-use dan Re-cycle,” ucapnya.
Revitalisasi pemeliharaan dan penanganan limbah peternakan ini, menurut Ambar, juga harus mengacu pada circular economy atau ekonomi siklus sebagai praktik bisnis yang menguntungkan dengan memanfaatkan limbah dan produk samping/ hasil ikutan dari aktivitas peternakan. Lebih spesifik circular economy didefinisikan sebuah sistem dengan mempertahankan nilai dari produk, material dan sumber daya di dalam siklus ekonomi selama mungkin sehingga limbah dan hasil ikutan ternak dapat diminimalkan (zero waste).
“Dalam konteks ini circular economy tidak hanya berfokus pada pengurangan limbah dengan prinsip 3R, tetapi bagaimana merancang pemanfaatan limbah dan hasil ikutan menjadi produk yang berharga secara ekonomi dan bernilai jual tinggi,” ujarnya.
Dalam pidatonya berjudul Transformasi Sumber Daya Manusia Pengelola Peternakan Terintegrasi Untuk Kemandirian: Energi, Pangan, dan Ekonomi Masyarakat Perdesaan, Ambar menuturkan dipilihnya tema tersebut mengingat pentingnya kapabilitas dan kapasitas sumber daya manusia sebagai agent of change dan menjadi kunci keberhasilan pencapaian kinerja. Semua itu didukung kelembagaan masyarakat sebagai wadah transfer teknologi tepat guna di perdesaan melalui penerapan pola pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang efektif dan efisien dalam pengelolaan peternakan terintegrasi.
Ambar mengakui hingga kini usaha peternakan pada umumnya masih berorientasi pada target produksi (daging, susu, telur) yang dianggap memiliki nilai ekonomi, padahal hasil kajian secara komprehensif dan holistik pengembangan peternakan dari hulu sampai hilir memiliki nilai ekonomi.
“Contoh pemanfaatan limbah peternakan dan hasil ikutan ternak saat dipotong sangat bernilai tinggi, apabila dikelola secara terpadu oleh SDM yang unggul dan lembaga yang selalu melakukan perubahan untuk peningkatan kemampuan tentu berdampak pada peningkatan perekonomian perdesaan dan dapat menurunkan efek gas rumah kaca,” terangnya. (Humas UGM/ Agung; foto: Firsto)