Tim mahasiswa UGM berhasil menyabet juara pertama dalam kompetisi internasional Industrial Engineering Competition (IECOM) yang diselenggarakan pada 6-11 Januari 2020 di ITB.
Dalam kompetisi yang diikuti 57 tim dari Filipina dan Indonesia ini, mahasiswa Departemen Teknik Mesin dan Industri (DTMI) yang tergabung tim Optimax terpilih menjadi juara dengan menyisihkan tim dari University of The Philippines Diliman yang berada di peringkat dua dan tim dari ITB di posisi tiga.
Anas Saifurrahman, anggota tim Optimax, mengatakan mereka berhasil menjadi juara usai melalui tahapan seleksi yang ketat. Sebelumnya, mereka harus berkompetisi dengan 57 tim lain dalam seleksi secara online. Melalui seleksi yang dilakukan online tersebut dipilih 15 tim terbaik untuk maju ke tahap semifinal.
“Jadi, 15 tim yang lolos ke semifinal ini diuji untuk menyelesaikan sejumlah soal teori dasar keilmuan bidang teknik industri dan diberikan kasus untuk diselesaikan,” terang mahasiswa Teknik Industri ini , Senin (13/1).
Dalam babak semi final tersebut, Anas menjelaskan setiap tim diberikan kasus dan diminta memberikan solusi dalam bentuk esai. Setelah itu, peserta juga diminta untuk menyimulasikan gagasan yang ditawarkan. Berikutnya, masing-masing tim kembali diuji dalam amazing race, mereka saling berlomba menyelesaikan kasus dengan topik yang berbeda di enam pos.
Anas bersama dengan anggota tim Optimax lainnya, yakni Muhammad Zhafran Haidar Muttaqin dan Hans Bastian Wangsa akhirnya terpilih melaju ke babak final bersama dengan 4 tim lainnya dari University of The Philippines Diliman, UI, ITB, dan Universitas Katolik Parahyangan. Dalam tahapan final mereka diberikan kasus dengan topik dampak dari inisiatif berkelanjutan yang diimplementasikan perusahan.
“Pada babak final kami diberikan kasus riil yang dialami Air Asia,” katanya.
Mereka menawarkan gagasan pengurangan emisi karbon dari operasional penerbangan, khususnya dari sampah makanan di pesawat. Data Asosisasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA) mencatat total sampah dari penumpang pesawat di dunia mencapai 5,7 juta ton di 2017.
“Banyak stok makanan di pesawat yang tidak terjual dan sisa makanan ini turut menyumbang emisi karbon,” jelasnya.
Melihat kondisi itu, Anas dan tim mengajukan solusi mengurai persoalan tersebut. Ketiganya menawarkan penyelesaian dengan implementasi strategi just in time. Strategi tersebut dilakukan dengan menerapkan pesanan makanan datang pada waktu yang tepat, tempat yang benar, dan jumlah sesuai dengan permintaan. Strategi just in time itu diintegrasikan antara penyedia jasa katering makanan dengan perusahaan maskapai Air Asia disertai dengan penambahan prosedur monitoring secara real time.
“Dengan strategi tersebut diharapkan dapat mendukung pembangunan industri yang berkelanjutan,” katanya. (Humas UGM/Ika)