Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa dari rumpun Austronesia menjadi bahasa ibu bagi etnis Jawa yang tinggal di Pulau Jawa bagian tengah dan timur. Migrasi orang Jawa ke luar wilayah Jawa memunculkan daerah kantong bahasa Jawa di Indonesia dan luar Indonesia, termasuk Kaledonia Baru. Di wilayah ini, bahasa Jawa memiliki ciri khas yang membuat varian ini berbeda dengan varian bahasa Jawa yang lain.
“Pertemuan antaretnis dan antarbudaya antara orang jawa dengan berbagai etnis di Kaledonia Baru, khususnya etnis Perancis membuahkan bentuk baru yang disebut dengan hibriditas,” jelas dosen Sastra Perancis FIB UGM, Subiyantoro, Selasa (14/1) di kampus setempat.
Saat mempertahankan disertasi berjudul Hibriditas Bahasa Jawa-Perancis Kaledonia Baru, Subiyantoro mengatakan nama bahasa Jawa Kaledonia Baru telah menunjukkan adanya fenomena hibriditas yakni bahasa Jawa yang di dalamnya terdapat satuan lingual bahasa Perancis. Pergeseran fonem akibat pengaruh bahasa Perancis, pemakaian kosa kata bahasa Perancis yang telah melebur menjadi bagian integral dari leksikon bahasa Jawa Kaledonia Baru turut mengikis kompetensi penuturnya.
Dia mengungkapkan terdapat beberapa fenomena kultural dan kebahasaan yang menarik selama keberadaan varian bahasa Jawa di Kaledonia Baru. Salah satunya adalah di awal keberadaannya terjadi fenomena homogenisasi dialek yang diakibatkan oleh hegemonisasi bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Surakarta. Berikutnya, proses Jawanisasi yaitu proses menjadi Jawa secara kultural dan linguistis dari yang sebelumnya non-Jawa.
“Selain itu, terdapat fenomena Perancisisasi yakni penanaman nilai-nilai Perancis lewat imposisi bahasa Perancis,” terangnya.
Perancisisasi berkontribusi dalam pereduksian fungsi linguistis bahasa Jawa. Proses ini ditunjang adanya hibriditas rasial.
Subiayantoro menjelaskan terbentuknya bahasa Jawa Kaledonia Baru melalui proses yang relatif cepat. Tak hanya itu, hibriditas bahasa Jawa turut menimbulkan hierarki dan perubahan. Hierarki yang ditimbulkan meliputi usia penutur, lokasi tempat tinggal, dan jenis kelamin penutur.
“Hibriditas bahasa Jawa banyak dituturkan penutur berusia 30-54 tahun, wanita, serta penutur dari provinsi Selatan,” ungkapnya.
Hibriditas bahasa, disebutkan Subiyantoro, merupakan bentuk negosiasi di tengah Perancisisasi kultural. Meskipun dengan kapabilitas yang makin berkurang, penutur bahasa Jawa berusaha untuk tetap mempertahankan bahasanya. (Humas UGM/Ika)