Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa luas Hutan Tanaman Industri (HTI/IUPHHK-HT) mencapai 9,39 juta ha dan dikelola oleh 262 unit perusahaan dengan izin hingga 100 tahun, sedang luas Hak Pengusahaan Hutan (HPH/IUPHHK-HA) mencapai 21,49 juta ha yang dikelola oleh 303 perusahaan. Sementara itu, pemberian akses kelola kepada masyarakat hanya sebesar 921 ribu ha.
Fakta ini menimbulkan pertanyaan mengenai orientasi pengelolaan sumber daya alam, khususnya dalam konteks sektoral kehutanan, ketika pengurusan SDA sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa segala sesuatu mengenai SDA yang berada dalam wilayah teritori NKRI dikuasai, diatur, dikelola, dan didistribusikan oleh negara bagi kemakmuran atau kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia.
“Seberapa jauh sebenarnya orientasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam hal ini sungguh-sungguh dijadikan pegangan patut menjadi pertanyaan, terlebih pada saat yang sama teridentifikasi 28.407 desa berada di dalam atau sekitar hutan negara,” tutur dosen Fakultas Hukum UGM, Totok Dwi Diantoro.
Dalam ujian terbuka program doktor yang berlangsung Rabu (29/1), Totok memaparkan disertasinya yang berjudul “Politik Hukum Kawasan Hutan dalam Sistem Hukum Sumber Daya Alam Pasca Putusan MK Terkait Uji Materil UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan”.
Dalam disertasinya, ia memuat beberapa contoh kasus yang mempertegas adanya tengarai permasalahan pada kebijakan kehutanan, salah satunya fenomena tumpang tindih peruntukan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan sebagai konsekuensi pengalokasian izin atau konsensi pemanfaatan yang tidak akurat di lapangan.
Ada pula pandangan yang menyatakan bahwa akar permasalahan dari ketidakberesan pengelolaan hutan di Indonesia adalah akibat cara pandang terhadap hutan yang bersifat parsial, pragmatis, berorientasi pada keuntungan jangka pendek, yang diperparah oleh tidak transparannya pengelolaan hutan dengan adanya celah-celah penyelewengan pada perizinan sektor kehutanan.
Persoalan tersebut, imbuhnya, terjadi persisnya manakala konsep ekosistem hutan direduksi dalam fungsi yang terpisah-pisah antara produksi, lindung, dan konservasi, yang disinyalir disengaja agar memungkinkan berjalannya praktik pengelolaan hutan yang bersifat eksploitatif.
“Watak eksploitasi tersebut tentu tidak bisa lepas dari keberadaan kawasan hutan sebagai komponen utama sumber daya hutan,” jelasnya.
Terkait proyeksi arah politik hukum kebijakan kawasan hutan, kajian yang ia lakukan mengemukakan urgensi adanya prinsip keadilan, demokrasi, serta keberlanjutan dalam sistem hukum SDA. Keadilan menekankan politik hukum kebijakan kawasan hutan seharusnya menaruh kepekaan terhadap masyarakat lokal atau masyarakat adat sebagai pihak yang paling pertama berhadapan dengan risiko dari eksploitasi SDA.
Sementara itu, demokrasi ia jelaskan sebagai prinsip yang memastikan bahwa politik hukum kebijakan kawasan hutan harus membuka ruang partisipasi seluas-luasnya untuk masyarakat setempat bagi proses pengambilan keputusan, terutama ketika keputusan eksploitasi SDA akan membawa dampak.
“Selain perlu diaktualisasikan ke dalam ketentuan perlindungan atau pelestarian, secara otomatis akan berjalan sendiri manakala politik hukum kebijakan kawasan hukum telah menjamin demokrasi dan keadilan,” terangnya. (Humas UGM/Gloria)