Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM kembali menggelar diskusi bertajuk “Bincang Pancasila” pada Jumat (7/2). Diskusi kali ini bertemakan “Disabilitas & Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Inklusi”. Sebagai pembicara, PSP UGM mengundang Nuning Suryatiningsih dari Center for Improving Qualified Activity of People With Disabilities (CIQAL).
Nuning mengawali pembahasannya dengan menjelaskan tentang disabilitas. Menurutnya, disabilitas merupakan hasil interaksi antara orang-orang dengan keterbatasan kemampuan, sikap, dan lingkungan yang menghambat partisipasi mereka di dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
“Jadi, disabilitas bukan dilihat dari perspektif medisnya, melainkan dari perspektif hubungan sosialnya. Oleh karenanya, kita menyebutnya disabilitas, bukan cacat. Cacat adalah istlitah medis,” terangnya.
Nuning menjelaskan dalam hubungannya dengan inklusifitas, konsep tersebut berupaya untuk mengakomodasi perbedaan dan nilai keberagaman, salah satunya disabilitas tadi. Oleh karena itu, ia menerangkan bahwa pembangun inklusif bertujuan untuk merangkul berbagai perbedaan serta keberagaman dalam masyarakat.
Menurut Nuning, agar tujuan tersebut terwujud, kelompok rentan, termasuk disabilitas, dilibatkan dalam proses serta pembentukan kebijakan pembangunan. Kebijakan atau program dari pembangunan tersebut perlu mempertimbangkan serta didasarkan atas kajian dampak-dampak terhadap kehidupan kelompok rentan.
“Keterlibatan kelompok rentan dalam proses kebijakan pembangunan tadi penting karena dengan hal itu kita dapat tahu apa yang mereka butuhkan agar dapat mengakses suatu bangunan, utamanya yang memang dirancang untuk umum. Hal itu sehingga tidak adanya diskriminasi untuk siapa yang dapat mengakses bangunan tadi,” paparnya.
Dengen demikian, pembangunan inklusif harus mempertimbangkan beberapa prinsip, yakni partisipasi, non-diskriminasi, serta aksesibilitas. “Selama ini, kami, termasuk saya, banyak menjumpai suatu bangunan yang mengaku inklusif hanya memenuhi prinsip non-diskriminatif, namun melupakan prinsip aksesbilitasnya,” ungkapnya.
Selain prinsp tadi, Nuning menyatakan bahwa pembangunan inklusif perlu pula dilandaskan atas pendekatan jalur ganda. Jalur pertama yaitu tindakan untuk mengarusutamakan kelompok rentan dalam semua program dengan fokus menghapuskan berbagai hambatan partisipasi yang ada di masyarakat. Jalur kedua yakni pernerapan perlakuan khusus bagi kelompok rentan untuk memungkinkan berpartisipasi dan mendapat manfaat program secara setara dengan yang lainnya.
Nuning menekankan bahwa penerapan ketiga prinsip serta kedua pendekatan jalur tadi merupakan kunci untuk pembangunan inklusif. “Dengan hal ini kita dapat merealisasikan kesetaraan hak dan kesempatan bagi seluruh masyarakat, termasuk kelompok rentan di dalamnya,” tegasnya.
Agus Wahyudi, Ph.D., Kepala PSP UGM, menyetujui pemaparan Nuning tentang pembangunan inklusif tadi. Menurutnya, negara Indonesia dengan sila kelima Pancasila-nya berupaya mengakomodasi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Konsekuensinya, negara ini juga harus membuat rakyatnya tidak ada yang merasa tertinggal dalam pemenuhan haknya.
“Pembangunan inklusif ini merupakan gambaran dari tugas dan peran negara yang seharusnya dijalankan dalam masyarakat. Konsep ini menjadi bayangan kehidupan bersama yang baik dan benar dari masyarakat,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)