Dosen Fakultas Kehutanan UGM, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, M.Sc., IPU., dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang ilmu pengelolaan satwa liar pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Selasa (25/2), di Balai Senat UGM. Pada upacara pengukuhannya, Satyawan menyampaikan pidato yang berjudul Merawat Hubungan Manusia dan Satwa Liar.
Dalam pemaparannya, ia mengutip laporan WWF tahun 2018 bahwa selama 40 tahun terakhir populasi satwa liar menurun hingga 40 persen. Sementara jumlah manusia meningkat tiga kali lipat. Salah satu akibat serius tidak terkendalinya aktivitas manusia adalah kepunahan keanekaragaman hayati. Saat ini nilai laju kepunahan berkisar 100 hingga 1.000 kepunahan per sejuta spesies per tahun. Bahkan, sekitar 10-30 persen spesies mamalia, burung dan amfibi juga terancam punah.
Perdagangan global satwa liar, kata Satyawan, merupakan ancaman serius dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Pasalnya, pasar gelap satwa liar adalah bisnis yang sangat menguntungkan setelah obat-obat terlarang, persenjataan dan barang-barang palsu. Dalam perspektif ekonomi, keanekaragaman hayati berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan manusia. Secara global, lebih dari separuh populasi manusia bergantung langsung pada keanekaragaman hayati. Sedangkan keberadaan satwa liar mendukung kehidupan 15 persen populasi manusia yang merupakan sumber utama protein bagi lebih dari 1 miliar penduduk miskin.
Satyawan mengungkapkan keberadaan satwa liar juga memberikan kontribusi besar pada perkembangan ilmu kesehatan. Tidak hanya itu, keberadaan satwa liar memberikan kemaslahatan bagi manusia. Namun dalam praktiknya, konservasi satwa liar di Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat. Sebab, kesadaran konservasi satwa liar masih sangat rendah baik di level masyarakat maupun para pengambil kebijakan. “Tidak mudah untuk mendamaikan konflik-konflik kepentingan dalam perebutan ruang hidup antara satwa liar dan manusia dalam realitas sosio-ekonomi Indonesia,” katanya.
Selain itu, lemahnya inovasi teknologi pertanian dan rendahnya ketersediaan lahan justru akan meningkatkan kompetisi satwa dan manusia. “Masalah ini jadi tantangan terberat bagi konservasi satwa liar,” ujarnya.
Menurutnya, konservasi satwa liar pada dasarnya membutuhkan metodologi transdisipliner yaitu integrasi dan koordinasi disiplin-disiplin ilmu dengan inovasi masyarakat. “Ilmu konservasi bukanlah ilmu bebas nilai maka etika konservasi harus menjadi pemandu dalam pengambil keputusan,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Firsto