Sebanyak 19 hasil inovasi dari tim peneliti kampus menerima paten dari Kementerian Hukum dan HAM. Penyerahan sertifikat paten tersebut diserahkan langsung oleh Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham RI, Selasa (10/3) di Grha Sabha Pramana. Beberapa hasil inovasi yang mendapatkan paten tersebut diantaranya temuan pengembangan inovasi stent jantung, alat bantu pembuatan implan tulang dan pemanfaatan glukomanan dari umbi porang.
Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan, Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr., menyampaikan ucapan selamat kepada tim peneliti yang mendapatkan paten dari hasil riset inovasi yang sudah mereka kembangkan.
“Saya ucapkan selamat kepada penerima paten, hingga saat ini UGM sudah meraih 603 kekayaan intelektual,” kata Djagal.
UGM sebagai universitas riset, kata Djagal, memberikan cukup perhatian besar pada pengembangan dan perlindungan kekayaan intelektual atas hasil sebuah inovasi. “Kita mendorong dosen dan mahasiswa untuk melakukan pendaftaran perlindungan karya inovasi,”katanya.
Namun demikian, hasil temuan yang mendapatkan paten apabila tidak dikomersialisasikan ke industri akan menjadi sia-sia. Dengan demikian, semua hasil inovasi akan segera dipublikasikan dan dikerjasamakan. “Ibarat aset, hasil paten perlu menjadi kapital dengan dipublikasikan agar bisa menggandeng industri,” katanya.
Dirjen Kekayaan Intelektual, Kemenkumham RI, Dr. Freddy Harris, mengatakan banyak peneliti yang tidak mendaftarkan paten terhadap hasil temuannya. Bahkan, ada yang menganggap proses pengurusan paten sangat lama. “Sebenarnya tidak lama, namun orang selalu berpikir ini soal akademik dan mendapatkan honorarium. Karena sedikit, 80 persen paten yang kita kelola berasal dari asing dan hanya 20 persen dari Indonesia,” ujarnya.
Menurutnya, Kemenkumham tidak ingin anggaran yang disediakan hanya untuk mengurus paten dari asing dan sebaliknya ia ingin anggaran dialokasikan untuk paten anak bangsa sendiri. Oleh karena itu, ia berharap para inovator dari perguruan tinggi mendaftarkan paten untuk mendapat perlindungan hak kekayaan intelektual.
Minimnya jumlah paten di Indonesia, menurutnya, dikarenakan belum terbangunnya semangat inovasi dari insan akademik dan masih kurangnya peran universitas sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan riset.
Selain itu, setiap paten yang didapat juga sebaiknya langsung dikomersialisasikan oleh pihak universitas, sebab kekayaan intelektual tanpa nilai ekonomi maka hanya akan menjadi hak sosial semata. “Inventor jangan suruh jualan dia sudah pusing dengan temuannya,” katanya.
Selain penyerahan sertifikat paten ke peneliti UGM, Dirjen Kekayaan Intelektual juga melaksanakan penandatanganan nota kesepahaman bersama dengan 10 perguruan tinggi di DIY dan Pemda DIY. Kerja sama di bidang perlindungan dan pemanfaatan kekayaan intelektual dengan kesepuluh perguruan tinggi ini meliputi UGM, UNY, Universitas Atmajaya, UPN Veteran, UMY, Universitas Proklamasi, Universitas Alma Ata, Universitas Janabadra, Universitas Amikom, dan Institut Teknologi Nasional.
Penulis :Gusti Grehenson
Foto :Firsto