Dalam rangkaian kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander yang didampingi Ratu Maxima ke Indonesia dan Universitas Gadjah Mada, sejumlah saintis Belanda berkesempatan berdiskudi dengan dosen-dosen UGM. Sejumlah saintis sejak Rabu (11/3) pagi melakukan diskusi di Fakultas Biologi UGM terkait persoalan biodiversitas, di FKKMK UGM soal kesehatan dan di Fakultas Hukum UGM mengenai sosial-humaniora.
Dekan Fakultas Biologi UGM, Prof. Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc., saat menyambut kunjungan para saintis Belanda mengatakan Fakultas Biologi mengangkat tema diskusi soal biodiversitas yang secara detail mengupas permasalahan Indeks Biodiversitas Indonesia (IBI). Indeks Biodiversitas Indonesia ini diharapkan dapat menjadi platform untuk tolok ukur melihat status biodiversitas dan dampaknya bagi masyarakat.
“Alat ukur yang dimaksud Indeks Biodiversitas Indonesia ini sangat penting bagi kita untuk mengukur di setiap wilayah, daerah, desa, kecamatan maupun kabupaten/ kota, atau propinsi, apakah biodiversitas yang mereka miliki masih baik atau sudah agak rusak atau bahkan sudah rusak sama sekali,” ujar Budi.
Menurut Budi, bagaimanapun biodiversitas adalah modal awal untuk bisa bekerja di lingkungan yang sehat dan baik. Sebab, manusia hidup mendapatkan oksigen dari lingkungannya sehingga jika lingkungan di sekitar rusak maka keanekaragaman juga akan menurun.
“Misalnya Jakarta indeksnya agak berkurang maka harus ada upaya dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menaikan indeks keanekaragaman, misalnya dengan menanam banyak pohon atau kemudian mengendalikan banjir dan lain-lain,” tuturnya.
Selaku ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI), ia berharap bagi daerah-daerah, seperti Papua dan Kalimantan Timur bisa diberikan insentif. Sebab, kedua daerah tersebut banyak menghasilkan oksigen dan keanekaragaman hayati karena dari wilayah tersebut bisa dihasilkan aneka herbal misalnya obat.
“Mestinya bisa diberikan insentif untuk daerah-daerah yang bisa mempertahankan dan meningkatkan keanekaragaman hayati. Seperti yang dilakukan KOBI setiap tahun memberikan biodiversity award atau semacam Kalpataru kepada tokoh perorangan atau kelompok, komunitas yang fokus untuk mengembangkan biodiversitas Indonesia,” ucapnya.
Ia berharap pertemuan dengan 15 ilmuwan dari berbagai perguruan tinggi di Belanda tersebut akan berlanjut dengan kerja sama riil antara peneliti kedua negara. Sebab, KOBI saat ini memiliki 331 program studi yang menjadi anggota dari seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
“Sehingga kerja sama ini akan lebih mudah dikembangkan di program studi-program studi biologi, bioteknologi, mikrobiologi yang ada di Indonesia. Termasuk kerja sama zebrafish untuk pengembangan biomedis karena hewan kelinci, tikus putih dan kambing untuk hewan uji coba sekarang ini mahal,” katanya.
Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Masyarakat dan Kerja Sama Fakultas Biologi, Dr. Eko Agus Suyono, M.App.Sc ., menambahkan sudah saatnya bagi Indonesia dan beberapa perguruan tinggi di Belanda mengembangkan Indeks Biodiversitas Indonesia. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki Indeks Biodiversitas Indonesia.
Dengan begitu maka program-program IBI bisa dikerjasamakan dengan perguruan tinggi Indonesia dan Belanda, terutama terkait penelitian biodiversitas. Hal ini tentu akan menjadi sinergi yang bagus dan riset bidang biodiversitas berkembang sekaligus mampu dihubungkan dengan Indeks Biodiversitas Indonesia.
“Maka akan terlihat seberapa bagus atau kerusakan biodiversitas. Dalam hal biodiversitas ini kita nomor dua setelah Brazil. Indonesia belum ada IBI dan Belanda sudah ada, kita bisa belajar dari mereka meskipun tidak harus sama persis,”imbuhnya.
Sementara itu, Dr. Bambang Retno Aji dari Laboratorium Struktur Perkembangan Hewan menambahkan UGM saat ini sudah melakukan kolaborasi dengan Leiden University dalam pengembangan fasilitas ikan zebrafish. Menurutnya, melalui fasilitas yang telah dirintis sejak tahun 2015 ini telah berhasil dikembangkan 10 jenis ikan zebrafish di UGM.
“Tujuan fasilitas ini untuk pengujian sebagai model organisme di dalam penelitian-penelitian yang berkaitan dengan biodiversitas maupun medis dan bidang ilmu yang lain. Harapannya di akhir tahun 2020 fasilitas ikan zebrafish ini bisa berfungsi secara maksimal dan bisa digunakan sivitas akademika UGM sekaligus peneliti dari luar dan juga mitra di Leiden,” katanya.
Penulis : Agung Nugroho