Pemerintah Indonesia merancang Omnibus Law RUU Cipta Kerja sebagai upaya untuk mendorong investasi dan menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia.
Namun, RUU sendiri telah menuai banyak kritik dari kalangan politisi maupun masyarakat umum karena dianggap lebih berpihak pada kepentingan pebisnis dibandingkan kepentingan rakyat.
Untuk mengupas rancangan peraturan yang berpotensi menimbulkan perubahan besar pada masalah ketenagakerjaan serta perekonomian Indonesia secara umum, FISIPOL UGM menyelenggarakan Diskusi Publik tentang RUU Cipta Kerja, Kamis (12/3) di Auditorium FISIPOL UGM.
“Kita ingin menciptakan lapangan kerja yang luas dan merata. Maka, poin yang disasar RUU ini meliputi peningkatan kompetensi pencari kerja, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan pekerja, peningkatan investasi, kemudahan berusaha, serta pemberdayaan UMKM dan koperasi,” ujar Staf Khusus Presiden RI, Arif Budimanta.
RUU Cipta Kerja sendiri menurutnya akan mampu menyederhanakan regulasi dan perizinan yang kerap kali menjadi penghambat masuknya investasi serta perkembangan usaha di Indonesia. Oleh karena itu, yang akan mendapat keuntungan dari peraturan ini tidak hanya pebisnis besar, tetapi juga pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.
“Sektor usaha kecil pun perlu kepastian. Ini semua harus kita bereskan, dan salah satu instrumennya adalah dengan RUU Cipta Kerja karena kita menghadapi yang namanya hyper regulation,” paparnya.
Porsi substansi RUU yang terdiri dari 15 bab dan 174 pasal ini berbicara soal perizinan, kemudahan berusaha, investasi dan UMKM/koperasi sebanyak 86,5 persen, sedangkan sisanya membahas ketenagakerjaan, kawasan ekonomi, pengenaan sanksi, serta riset dan inovasi.
Untuk memastikan bahwa peraturan ini dirancang dengan baik dan membawa manfaat yang positif bagi masyarakat, pemerintah menurutnya terbuka terhadap masukan-masukan yang ada, termasuk dari sivitas akademika UGM.
“Ini harus kita jadikan sebagai karya besar bangsa yang menjamin masa depan Indonesia menjadi lebih baik dan lebih maju,” ungkap Arif.
Pada kesempatan yang sama, Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Reza Yamora Siregar, menerangkan RUU Cipta Kerja setidaknya dilatarbelakangi 5 hal, di antaranya kompleksitas dan obesitas regulasi, peringkat daya saing Indonesia yang masih rendah, dan tingginya angkatan kerja yang tidak atau belum bekerja maupun bekerja tidak penuh.
Di samping itu, Presiden Joko Widodo dalam periode kedua kepemimpinannya menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka 6 persen per tahun, dengan anggapan bahwa tingkat pertumbuhan tersebut mampu memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan sebesar 2,2 juta per tahun. Untuk mencapai target tersebut, diperlukan berbagai inovasi termasuk dalam regulasi.
“Kalau bisa tumbuh secara kontinu, tahun 2040 Indonesia bisa masuk ke dalam negara maju. Masih ada kesempatan tapi semakin kecil karena waktunya tidak banyak, perlu dimulai sekarang mengingat kondisi ekonomi dunia juga tidak stabil,” jelas Reza.
Di samping kedua narasumber tersebut, dalam diskusi ini turut hadir beberapa pakar UGM, yaitu Prof. Tadjuddin Noer Effendy dari Departemen Sosiologi, Riza Noer Arfani dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Mirwan Ushada dari Direktorat Penelitian UGM, dan Arie Sujito dari Departemen Sosiologi.
Dalam sesi diskusi, para peserta diskusi yang berasal dari kalangan akademisi, aktivis, maupun mahasiswa juga berkesempatan untuk menyampaikan pertanyaan ataupun telaah kritis terhadap RUU ini.
Penulis: Gloria