Kios angalai adalah fenomena yang dapat ditemukan di Kota Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sekitar tiga ratusan unit kios tersebar di seluruh wilayah kota ini, di tepi jalan-jalan arteri dan kolektor utama, dan paling utama di sekitar pusat-pusat aktivitas. Kios angalai merupakan bangunan kios pedagang kaki lima yang dimiliki, dihuni dan dioperasikan oleh penduduk migran asal etnis Sabu. Bangunan kios angalai sangat sederhana, menyerupai kotak dan berbentuk bangunan panggung, hanya memiliki satu jendela dan satu pintu, serta nyaris tanpa ornamentasi.
Kios ini menjadi tempat berjualan sekaligus tempat tinggal bagi penghuninya selama waktu yang panjang, hingga puluhan tahun. Meskipun ukurannya relatif kecil dengan luas lantai berkisar 3-5 m2 tidak menghalangi mereka untuk melakukan aktivitas komersial dan domestik yang seringkali dilakukan bersama anggota keluarga yang tinggal dalam kios tersebut.
“Penghuni kios terlihat dapat mengatasi ketidaknyamanan terutama yang berasal dari kondisi ruang kios yang sangat terbatas, ditambah dengan berbagai ancaman eksternal dari lingkungan di sekitarnya,” ujar Linda Welmintje Fenggidae, ST., MT., saat melakukan ujian terbuka Program Doktor Teknik Arsitektur UGM, Senin (6/7) secara daring.
Linda yang juga dosen Universitas Nusa Cendana menyebut kondisi tersebut sebagai theoritical gap yaitu kondisi yang menimbulkan pertanyaan mengapa dan bagaimana penghuni kios angalai dapat tinggal dan beraktivitas di kios dalam waktu yang panjang, meski secara kondisi fisik dipandang tidak nyaman.
Dari penelitian yang ia lakukan memperlihatkan pengaturan seting tata ruang kios angalai dilakukan dengan konversi ruang dan pengaturan zoning. Dalam studi pendahuluannya ditemukan tiga tipe konversi ruang, yaitu konsolidasi, ekspansi, dan detachment.
Selain konversi, penataan ruang secara horisontal juga dilakukan dengan cara pengaturan zoning sesuai kebutuhan aktivitas, yaitu komersial dan domestik.
“Kedua tipe aktivitas ini memiliki karakter yang berbeda sehingga menjadi tantangan bagi para pemilik kios dalam menata ruangnya. Ruang kios kadang-kadang dikembangkan menjadi beberapa ruang, namun seringkali ruang kios hanya terdiri dari satu ruang inti saja. Dalam kondisi ini keberadaan zoning untuk dua tipe aktivitas yang berbeda tetap terlihat,” ucapnya.
Mempertahankan disertasi Ruang Angalai, Studi Kasus Kios Angalai Pedagang Kakilima Asal Etnis Sabu di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Linda menjelaskan dikotomi tipe aktivitas yang diakomodasi oleh ruang kios angalai (komersial-domestik) serupa dengan yang berlaku dalam rumah tradisional Sabu yaitu dikotomi berdasarkan gender (ruang perempuan/wui-ruang laki-laki/d’uru).
Hanya saja, pembagian ruang berbasiskan gender tidak dimungkinkan lagi dalam kios karena terbatasnya luasan ruang. Meski begitu, makna asosiatif yang melekat pada gender masih berlaku. Laki-laki diasosiasikan dengan urusan mencari nafkah, sedangkan perempuan diasosiasikan dengan urusan pengelolaan kerumah-tanggaan.
“Dalam ruang kios, urusan mencari nafkah berkaitan dengan aktivitas komersial, sedangkan urusan kerumah-tanggaan berkaitan dengan aktivitas domestik. Dengan demikian, pembagian zoning dalam ruang kios angalai secara substantif mengacu kepada dikotomi yang serupa dengan zoning dalam rumah tradisional Sabu,” terangnya.
Kios angalai memiliki bentuk dasar persegi panjang dan kebanyakan berupa bangunan panggung. Bentuk panggung berpotensi bagi pengelolaan ruang secara vertikal karena bangunan terbagi menjadi beberapa ruang secara vertikal.
“Serupa dengan rumah tradisional Sabu, kios angalai terdiri dari tiga level, yaitu ruang kolong, ruang kios dan ruang loteng. Pengelolaan ruang secara vertikal juga merupakan suatu cara untuk mengatasi kekurangan,” imbuhnya.
Ujian Terbuka Promosi Doktor daring bagi Linda Welmintje Fanggidae (Doktor Arsitektur) ini dapat berjalan dengan baik dan lulus dengan predikat Cumlaude. Doktor Linda WF adalah doktor ke 65 yang lulus di DTAP FT UGM, doktor ke 438 yang lulus di FT UGM, dan di Universitas doktor ke 4.855. Linda lulus dengan masa studi 3 tahun 11 bulan, IPK 4.00, dan menghasilkan 2 jurnal internasional bereputasi, dan 1 jurnal nasional bereputasi.
Penulis : Agung Nugroho