Ada dua faktor penting yang akan mendorong terwujudnya good governance, yaitu law enforcement dan market for labor. Law enforcement adalah penegakan hukum, yaitu mereka yang melakukan pelanggaran harus ditindak segera dengan denda yang membuat jera dengan mempertimbangkan etika dan moral.
“Penegakan hukum yang tidak dilakukan segera akan mendorong ketidakpastian dan menurunkan kepercayaan publik, dan hukuman yang tidak membuat jera akan mendorong perilaku ‘costs and benefits’ yang mengorbankan etika dan moral,” ujar Prof. Bambang Riyanto L.S., MBA., Ph.D, di Balai Senat, Kamis (16/7) saat dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Sementara market for labor secara sederhana dimaknai sebagai nilai (laku tidaknya) seorang eksekutif akan ditentukan oleh mekanisme pasar. Jika seseorang tidak mempunyai track records yang baik, atau bahkan pernah melakukan ‘selfiserving behavior’ maka dia tidak akan laku (tidak akan ada yang merekrut).
“Law enforcement yang tegas dan membuat jera akan menentukan mekanisme labor for market berjalan dengan baik,” paparnya.
Dalam pidatonya berjudul Governance dan Akuntan: Tantangan ke depan di Indonesia, ia mengatakan dengan independensi yang sangat tinggi bahkan remunerasi yang sangat kompetitif sejak 2008 sebagai bagian dari program reformasi birokrasi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mestinya dapat melaksanakan fungsinya secara independen, profesional, berintegritas, dan bermanfaat bagi publik.
“Tetapi sayang berbagai kasus yang melibatkan auditor di berbagai jenjang dan bahkan anggota board, membuat publik meragukan kontribusi BPK dalam mendorong good govenance and clean government. Misalnya, ICW melaporkan sejak 2005 sampai 2017 ada enam kasus yang melibatkan 23 pemeriksa BPK,” katanya.“
Menurutnya, ada beberapa anggota BPK hingga 2020, bahkan ketua, harus berurusan dengan hukum. Beberapa dari mereka dipenjara, meski tidak semua terkait dengan jabatannya sebagai anggota BPK.
“ltulah sebabnya, rumor bahwa opini audit ‘menjadi komoditas’ beredar luas. Berbagai kasus dan rumor ini menunjukkan perlunya ada perubahan fundamental atas BPK,” ucapnya.
Menurutnya, diperlukan perubahan mendasar yang bisa mendorong BPK menjadi lembaga profesional, bukan “lembaga politik” yang mayoritas anggota pimpinan diisi oleh politisi, atau hasil dari transaksi politik. Beberapa perubahan mendasar yang perlu dilakukan adalah jumlah anggota yang mencapai sembilan orang terlalu besar dan meningkatkan potensi konflik dan memperlambat proses pengambilan keputusan.
“Jumlah anggota BPK yang ideal adalah lima orang, yang kelimanya adalah profesional dan tidak atau pernah berafiliasi dengan partai politik,” terangnya.
Bambang menilai komposisi anggota terdiri dari dua anggota berkualifikasi sebagai ekonom dan akuntan, dan tiga anggota yang lain kualifikasinya sesuai dengan kebutuhan, misalnya untuk saat ini dibutuhkan ahli infrastruktur, environmentalist, dan ahli di bidang manajemen operasi. Sementara untuk semakin kukuhnya lembaga dapat dilakukan dengan memperkuat jajaran eselon 1 dan 2 dengan rekrutmen dengan cara lelang jabatan, dan tidak hanya mengisi jabatan tersebut dari dalam melalui promosi internal.
“Perubahan komposisi dan kualifikasi di tingkat pimpinan ini diharapkan akan dapat membawa BPK mengembangkan kultur professional, tone of the top,” ujarnya.
Proses perekrutan pimpinan harus melibatkan lembaga independen, seperti di Komisi Pemberantasan Korupsi karena good governance strarts with good recruitment of executives. Sementara itu, agar peran BPK Optimal, BAKN perlu lebih aktif dan terbuka dalam menindaklanjuti hasil temuan BPK.
“Sampai saat ini, pembahasan mengenai hasil temuan ini tidak banyak diketahui oleh publik. Mengingat laporan keuangan daerah tidak dikonsolidasikan (digabung) dengan laporan keuangan pusat maka sebaiknya di DPRD juga dibentuk Badan Akuntabilitas Keuangan Daerah (BAKD), yang akan membantu keefektifan fungsi pengawasan DPRD,” paparnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto