Pemenuhan kesejahteraan atas papan dalam fenomena dunia yang mengkota menghadapi tantangan yang semakin kompleks dan rumit.
Perkembangan konsep penyelenggaraan perumahan rakyat yang pada awalnya hanya berupa jejaring hunian, tempat kerja, dan mobilitas, saat ini berkembang menjadi sebuah kompleksitas ekosistem jejaring ruang huni dan mobilitas multilevel, insfrastruktur, sistem penyediaan energi, sistem pengelolaan sumber daya air, dan sistem ketersediaan pangan.
Menurut Guru Besar Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM, Prof. Dr. Ir. Budi Prayitno, M.Eng, berbagai paradigma yang digunakan untuk menyusun konsep dan teori pembangunan perumahan rakyat di perkotaan belum mampu mnegidentifikasi faktor-faktor penting yang mengantisipasi fenomena perumahan perkotaan yang semakin masif.
“Perlu paradigma baru yang memosisikan rumah sebagai bagian dari isu perkotaan, di mana lahan menjadi faktor penentu efektivitas penyediaan perumahan,” paparnya dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar, Kamis (23/7).
Paradigma baru ini, terangnya, adalah pembangunan perumahan sebagai bagian dari ekosistem industri perkotaan. Ekosistem ini terdiri dari tiga unsur, yaitu ekonomi perkotaan, ruang, dan infrastruktur perkotaan serta ketangguhan perkotaan yang diintegrasikan dengan pemberdayaan nilai tangkapan lahan perkotaan melalui co-habitation dengan metode perekayasaan kebijakan.
“Gagasan paradigma baru ini didasarkan pada latar belakang pembangunan perumahan rakyat yang sampai saat ini belum menggunakan cara pandang sistemik atau dengan kata lain masih cenderung parsial atau fragmented,” kata Budi.
Paradigma pemenuhan kesejahteraan rakyat berbasis hak yang dijamin oleh UUD 1945, UU No. 39 tentang Hak Asasi Manusia, serta Deklarasi Universal HAM yang mewajibkan negara hadir dalam berbagai kebijakan, strategi, dan program pembangunan perumahan rakyat.
Tantangan pemenuhan kesejahteraan atas papan semakin berat akibat fenomena perumahan yang mengkota, yang mengakibatkan harga konstruksi dan harga lahan semakin tinggi. Proses densifikasi dan intensifikasi pemanfaatan lahan yang saat ini berjalan sangat masif dan ekspansif serta didominasi oleh kekuatan pasar pun sangat rentan menimbulkan ketimpangan distribusi kesejahteraan atas papan.
“Kerentanan yang sangat tinggi dialami oleh warga kota berpenghasilan rendah dan miskin dalam bertahan dan memperjuangkan hak bermukimnya di kawasan perkotaan.
Untuk itu, menurutnya diperlukan inovasi kebijakan, strategi, dan program perlindungan hak bermukim masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan miskin di perkotaan.
Program nasional Kotaku (Kota Tanpa Kumuh) berupa perbaikan infrastruktur kawasan permukiman yang diintegrasikan dengan bantuan stimulan perumahan swadaya untuk meningkatkan kualitas rumah beserta infrastruktur kawasannya sudah berjalan sangat efektif.
Namun untuk mengakselerasi program Kotaku dengan skema penanganan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga paradigma baru diperlukan dalam memposisikan program perlindungan hak bermukim masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin dengan konsep pemberdayaan mekanisme pasar secara berbagi.
Penulis: Gloria
Foto: Firsto