Terdapat kecenderungan semakin tinggi kebutuhan akan impor berbagai produk pertanian, baik pangan maupun non pangan. Kecenderungan ini terjadi karena gap antara suplai dan kebutuhan berbagai produk pertanian dalam negeri cenderung semakin lebar, seiring meningkatnya jumlah penduduk yang signifikan. Kecenderungan ini dikhawatirkan akan menjadi ketergantungan impor produk pertanian yang semakin tinggi pula. Sementara dalam waktu yang bersamaan, industrialisasi yang lebih lebih menekankan pada pembangunan ekonomi, namun kurang kontrol terhadap implementasi prinsip keadilan sosial dan wawasan lingkungan,yang berakibat semakin lebarnya gap antara masyarakat kaya dan miskin, disertai semakin rusaknya kondisi lingkungan.
Demikian salah satu rumusan yang disampaikan Prof Dr Ir Boma Wikan Tyoso MSc dan Prof Dr Sahid Susanto MS, dari Seminar Nasional “Revitalisasi Kebijakan Menuju Industrialisasi Pertanian Yang Berkeadilan dan Berkelanjutanâ€, di Balai Senat UGM, 8-9 Desember 2006.
Dalam seminar yang diprakarsai Majelis Guru Besar dalam rangka Dies Natalis ke-57 UGM, dinyatakan bahwa jumlah penduduk miskin masih didominasi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Kondisi masyarakat ini, semakin terlemahkan secara sosial dan ekonomi, seiring dengan semakin tajamnya kompetisi peruntukan lahan bagi kebutuhan non pertanian.
“Tekanan terhadap lahan pertanian semakin kuat dengan implikasi semakin tidak terpenuhinya lahan pertanian yang ideal, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan ini kalau tidak segera diatasi akan mempunyai implikasi pada rentannya ketahanan pangan,†ujar Prof Sahid, di Balai Senat, (9/12).
Program besar revitalisasi pertanian yang sudah dijalankan, kata dia, perlu terus dikembangkan secara lebih terpadu dan komprehensif, tidak hanya oleh departemen teknis yang menangani langsung masalah pertanian, tetapi melibatkan pula lembaga lain yang terkait. Oleh karena itu, tuntutan melakukan koreksi kebijakan pertanian menuju industrialisasi pertanian yang berkeadilan dan berkelanjutan menjadi semakin mendesak untuk dilakukan.
Sementara itu, guna mewujudkan landasan ideologi dan politik ekonomi dalam konsep kebijakan pembangunan menuju industrialisasi pertanian yang berkeadilan dan berkelanjutan, lebih lanjut, kata Prof Sahid, perlu dilandasi semangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan hak azasi manusia, mengangkat masyarakat industri kecil dan menengah di bidang pertanian menjadi masyarakat yang unggul.
“Stabilitas ekonomi makro sebagai modal dasar pembangunan ekonomi perlu dijadikan momentum untuk memberikan ruang dan peluang yang cukup bagi proses revitalisasi. Peningkatan peranan sektor pertanian melalui proses revitalisasi kebijakan hasilnya harus dapat diidenfikasi dengan indikator yang jelas,†tambah ketua panitia seminar.
Selain itu, revitalisasi kebijakan industrialisasi pertanian, perlu diarahkan untuk dapat memberikan kontribusi dalam persoalan keadilan sosial-ekonomi-budaya, peningkatan nilai tambah produk pertanian, peningkatan daya saing dan kerjasama sinergi global-regional. Dalam hal ini, perlu dukungan politis melalui berbagai produk instrument legal yang pro pertanian.
“Bentuk strategi kebijakan mengarah pada ekstensifikasi, intensifikasi, diversifikasi produk pilihan produk unggulan, industri pasca panen dan pengolahan pangan. Untuk itu, perlu peningkatan kualitas dan kuantitas faktor pendukung seperti sumber energi, infrastruktur, sumberdaya manusia, jaringan kerja dan komunikasi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi,†tandas Dosen FTP UGM.
Seminar yang dibuka Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi ini, menghadirkan keynote speech Menteri Koordinator Perekonomian Prof Dr Boediono MEc dan Menteri Pertanian Dr Apriantono, diikuti beberapa pembicara dari UGM dan panel diskusi oleh beberapa pelaku industri bidang pertanian, antara lain Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Komisaris Bank Rakyat Indonesia serta PT Unilever. (Humas UGM).