Pandemi covid-19 yang menyerang hampir seluruh wilayah di Indonesia sejak bulan Maret 2020, menjadikan seluruh agenda kegiatan yang melibatkan banyak orang harus dibatalkan. Terlebih setelah keluar Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan PP 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Salah satu poin penting dalam kedua peraturan tersebut adalah adanya larangan pengumpulan massa, termasuk pertemuan sosial, budaya, dan kegiatan lainnya yang sejenis. Akibatnya, seluruh pertunjukkan kesenian pun harus dibatalkan dan belum terlaksana hingga kini.
Dampak ini juga dialami masyarakat di Desa Jono, Kecamatan Temayang, Bojonegoro Jawa Timur. Sebagai daerah yang memiliki destinasi wisata berupa alam dan kesenian menangguhkan segala kegiatan. Padahal, desa ini memiliki 187 seniman, dan mereka mau tidak mau harus kehilangan salah satu sumber pendapatan akibat pandemi Covid-19.
“Biasanya rata-rata setiap bulan ada pentas seni seperti orang yang mengadakan hajatan, mantenan, khitanan, hari jadi kabupaten, peringatan hari besar, dan acara-acara tradisi lainnya. Kita sudah empat bulan tak berkegiatan kesenian, untungnya beberapa dari kami masih ada yang bertani dan berternak,” ujar Mariyanto, salah satu seniman di Desa Jono.
Mariyanto mengaku selama pandemi Covid-19, para seniman kesulitan untuk mengadakan pentas seni secara daring yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Kebanyakan dari mereka para pelaku seni tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teknologi masa kini.
Apabila pentas seni secara daring pun bisa dilakukan, menurut Mariyanto, tetap saja kesenian tersebut mengumpulkan seniman lebih dari 5 orang. Sebab, tidak semua seniman memiliki alat gamelan di rumah masing-masing.
“Para seniman juga ada rasa takut apabila apa yang dilakukan termasuk kategori melanggar peraturan pemerintah, terutama terkait physical distancing (jaga jarak), termasuk pementasan seni secara daring, karena disitu juga mengumpulkan banyak seniman,” ucapnya.
Melihat kondisi tersebut, Tim KKN-PPM UGM yang melakukan pengabdian di Temayang, Bojonegoro berusaha membantu mencarikan solusi. Tim KKN-PPM UGM pun kemudian menyiapkan suatu video promosi kesenian bekerja sama dengan seniman di Desa Jono.
Pembuatan video promosi kesenian ini diharapkan dapat digunakan para seniman sebagai media pendukung untuk kembali menawarkan pementasan seni setelah pandemi berakhir. Video promosi kesenian inipun mendapat sambuatan baik dari pemerintah daerah Bojonegoro.
“Video promosi kesenian ini akan digunakan sebagai upaya inventarisasi kebudayaan di Desa Jono. Video inipun sudah diunggah di akun youtube KKN Temayang, Bojonegoro, dan sudah dilihat lebih dari 100 views,” ujar Anggieta Puspa, salah satu mahasiswa KKN-PPM Sayang Temayang, Bojonegoro, Jumat (14/8).
Anggieta berharap melalui video yang sudah dibuat dapat membangkitkan kembali kesenian di Desa Jono agar tetap lestari. Selain itu, kesenian ini dapat terus dinikmati oleh masyarakat luas, baik masyarakat Bojonegoro maupun luar Bojonegoro.
“Macam – macam kesenian yang masih dilestarikan hingga saat ini antara lain kesenian tari tayub, wayang kulit, karawitan, dan ketoprak. Aneka ragam kesenian tersebut tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan untuk berkunjung ke desa wisata Jono,” ucapnya.
Menurutnya, perpaduan antara potensi alam dan budaya yang disajikan dalam suatu konsep desa wisata menjadi ciri khas yang masih jarang ditemukan di desa-desa wisata lainnya yang ada di Indonesia. Bahkan, berbagai jenis kesenian seperti tari tayub hingga ketoprak khas Jawa Timur rupanya selama ini juga diperkenalkan para seniman hingga keluar desa.
Pada akhirnya kegiatan melestarikan budaya pun menjadi salah satu sumber pendapatan sebagian masyarakat di Desa Jono. Kelompok kesenian di desa ini kerap kali memenuhi panggilan pentas di berbagai daerah, seperti di Kabupaten Tuban, Lamongan, hingga Nganjuk.
Kesenian-kesenian inipun juga sudah mendapatkan berbagai macam kejuaraan hingga ke tingkat nasional. Setiap bulan, mereka biasa melakukan pentas sebanyak 5-10 kali, dan untuk sekali pentas kesenian seperti tayub dan wayang kulit, kelompok kesenian bisa meraup pendapatan sebesar 20 juta rupiah hingga 23 juta rupiah untuk dalang, waranggono, pengrawit, dan pelandang.
“Beberapa seniman di Desa Jono juga memiliki alat-alat gamelan dan wayang kulit sendiri. Sehingga bagi masyarakat yang akan mengundang, pementasan ditawarkan dengan sistem paket, dan dengan berbagai macam harga yang berbeda-beda,” papar Anggieta.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Tari Tayub (https://www.eddyhasby.com)