Dalam perkembangannya, praktek desentralisasi sejak tahun 1999 telah melampaui prinsip-prinsip negara kesatuan (unitary state). Bahkan, dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, terdapat kecenderungan mengarah pada sistim federal.
Demikian kesimpulan dosen Universitas Indonesia, saat ujian terbuka Program Doktor, di Sekolah Pascasarjana UGM, Sabtu, (23/12). Promovendus mempertahankan desertasi berjudul “Desentralisasi Yang Mengarah Ke Sistim Federal dan Pengaruhnya Terhadap Pelaksanaan Fungsi Negara di Indonesia’, dengan bertindak selaku promotor Prof Dr Muchsan SH dan Ko-promotor Prof H Soehino SH.
Terhadap hasil kajian UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan UU No 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No 22 Tahun 1999, Edie Toet menemukan adanya butir-butir federal arrangements. Bahwa secara umum, terdapat kemiripan dalam pembagian kewenangan antara sistim federal dengan substansi yang terdapat dalam UU hasil reformasi.
“Dalam negara federal, konstitusi mengatur secara rinci kewenangan negara federal (pemerintah pusat), sedangkan sisa atau residu kewenangan menjadi milik negara bagian. Ini merupakan ciri sistim federal, yang dikenal prinsip sisa atau residu kewenangan (the reserve of powers),†ujar Rektor Universitas Pancasila, Jakarta.
Kata Edie Toet, penyelenggaraan pilkada langsung di tingkat provinsi, kabupaten, kota merupakan ciri-ciri hukum yang dimiliki negara federal. Sistim ini telah diterapkan di beberapa negara, seperti Australia, Amerika Serikat dan Kanada.
“Ini contoh paling kongkrit penyusupan sistim federal,†tambah Wakil Rektor Universitas Indonesia Bidang IV tahun 2002-2004.
Oleh karena itu prinsip otonomi seluas-luasnya, kata dia, telah diterjemahkan sebagai kebebasan mengatur wilayah dan rumahtangganya sendiri. Sementara, desentralisasi akhirnya hanya terfokus bagi kepentingan Pemerintah Daerah itu sendiri.
“Padahal tujuan utama otonomi daerah adalah memberi keleluasaan lebih besar pada masyarakat untuk membangun daerah dan fasilitas Pemda,†tandas suami Hj Dra Jenniwal Hendratno.
Pria kelahiran Semarang, 27 Maret 1951 ini, akhirnya dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan, sekaligus meraih gelar doktor Bidang Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada. (Humas UGM).