Sebagai tempat bertemunya banyak orang menjadikan pasar sebagai salah satu klaster penyebaran Covid-19 di sejumlah daerah. Oleh karena itu, masyarakat yang hendak pergi ke pasar untuk memenuhi barang kebutuhan hidup, perlu menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Meski begitu, banyak pihak menyayangkan rendahnya kesadaran masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19 ini. Meski fasilitas telah disediakan, tidak sedikit dari pengunjung dan pedagang pasar ditemui tidak memakai masker, dan tidak melakukan cuci tangan serta jaga jarak.
Lantas muncul wacana pelibatan preman pasar untuk membantu pengawasan protokol kesehatan terhadap pengunjung dan pedagang pasar yang tidak tertib. Pelibatan preman pasar inipun tentunya dengan cara-cara yang humanis.
Menurut sosiolog UGM, Drs. Suprapto, SU, sah-sah saja melibatkan preman untuk menegakkan protokol kesehatan di pasar. Menurutnya, preman juga warga negara yang punya hak dan kewajiban ikut menjaga ketertiban dan keamanan termasuk kesehatan.
“Jika harus melibatkan preman maka pelibatannya sebatas menertibkan bukan memberi sanksi,” katanya, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Jumat (11/9).
Ia menjelaskan dalam sosiologi dikenal konsep struktur sosial “Key Person” dan teori sapu lidi yaitu struktur sosial resmi di pasar dipimpin oleh Kepala Pasar, dan dilengkapi oleh staf-staf sesuai struktur organisasi yang ada.
Meski begitu, selain dikenal adanya organisasi formal, di pasar dikenal pula adanya organisasi tidak formal yang beranggotakan para kuli gendong, petugas parkir dan preman.
Dengan keberadaan mereka maka para pedagang pasar dan pengunjung harus mematuhi aturan main dari berbagai pihak, termasuk aturan main para preman. Para preman inipun notabene memproklamasikan diri sebagai penjamin keamanan pasar, disamping petugas keamanan yang resmi.
“Kita tidak bisa menutup mata akan keberadaan mereka. Mereka memiliki power yang cukup kuat, dan relatif dipatuhi. Nah berhubung relatih dipatuhi maka para preman menjadi salah satu “key persons” di lingkungan pasar yang dapat digunakan untuk penerapan teori sapu lidi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Suprapto menerangkan bahwa teori sapu lidi menjelaskan jika kita ingin menggerakkan bagian bawah untuk mekar, maka pukul atau tekanlah bagian atas. Bagian atas yang dimaksudkan tentu bisa unsur atau fungsionaris yang ada dalam struktur organisasi pasar, atau justru dari luar organisasi.
Menurut Suprapto tergantung siapa yang memiliki power kuat atau yang menjadi panutan penghuni pasar sehingga bila para preman dilibatkan sejak awal atau menjadi senjata pamungkas di akhir, sangat bergantung siapa “key person” di pasar tersebut.
“Masyarakat kita kan sangat heterogen, jadi ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan, bisa karena tidak faham bahayanya, atau memang sembrono atau nekad. Jadi, jika tidak ditangani dengan serius memang mengkhawatirkan, dan untuk menanganinya memang tidak bisa ‘single fighter’, tetapi harus sistemik, dan salah satunya melibat pengurus pasar yang menjadi ‘key person’,” terangnya.
Suprapto menilai ketidakpatuhan protokol kesehatan di pasar memperlihatkan lebih pada sikap semau gue. Padahal, pengunjung pasar tinggal menggunakan sarana yang sudah tersedia, seperti sabun, cuci tangan, dan lain lain yang sudah disediakan pemerintah.
Ia berharap jika sosialisasi belum cukup, bisa berlanjut internalisasi (peresapan), dan bermuara pada institusionalisasi (penerapan perilaku). Jika ternyata penerapan juga tidak tercapai maka harus diikuti dengan pemberlakuan sarana pengendali sosial, berupa budaya, nilai, dan norma sosial, mulai dari penerapan usages, folkways, mores, sampai hukuman.
“Tinggal bermodal masker saja kok sulit. Sanksi harus menjadi senjata pamungkas sehingga jika pembudayaan protokol kesehatan dan memfungsikan preman belum jalan maka pelaksanaannya berikutnya harus bersifat peringatan, jangan langsung diberi sanksi,” pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : manado.tribunnews.com