Tidak hanya di saat pandemi Covid-19 permasalahan jaminan keamanan pangan asal hewan dipersoalkan. Tetapi jauh sebelum itu, pelaksanaan terkait penjaminan keamanan pangan khususnya berasal dari hewan secara rutin telah dilakukan.
Dalam sistem jaminan keamanan pangan, khususnya produk asal hewan secara umum harus memenuhi program persyaratan dasar. Ini merupakan praktik-praktik dan kondisi yang diperlukan guna menjamin produk pangan yang aman.
Persyaratan dasar untuk penjamianan pangan yang aman yang dikenal secara luas selama ini seperti HACCP atau ISO 22000. Sedangkan contohnya diantaranya adalah Good Manufacturing Practices (GMP), Good Handling Practise (GHP) termasuk Nomor Kontrol Veteriner (NKV).
“Secara prinsip sebelum ada pandemi Covid-19 mereka yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) dan dinas terkait sudah lama menyosialisasikan soal Nomor Kontrol Veteriner (NKV),” ujar Dr. drh. Widagdo Sri Nugroho, M.P, dari Departemen Kesehatan Masyarakat, FKH UGM saat menyampaikan materi webinar Pengabdian Masyarakat Terpadu untuk Masyarakat Luas bertema Jaminan Keamanan Produk Asal Hewan dan Implikasinya Terhadap Perekonomian Masyarakat Terdampak Pandemi, Jumat (14/9).
Menurutnya NKV adalah sertifikat sebagai bukti tertulis sah telah dipenuhinya persyaratan hygiene dan sanitasi sebagai jaminan keamanan produk hewan pada unit usaha produk hewan. Sebagai program persyaratan dasar suatu unit usaha, NKV memperhatikan empat aspek penting yaitu praktik veteriner, kesejahteraan hewan, higiene sanitasi dan biosecurity.
Berdasar Permentan 11 tahun 2020 maka ada 17 Unit usaha Produk Hewan yang harus mendapatkan NKV. Unit-unit usaha produk hewan tersebut adalah Rumah potong Hewan Ruminansia, Rumah Potong Hewan Unggas, Rumah Potong Hewan Babi, Budidaya Unggas Petelur, Budidaya Ternak Perah, Usaha Pengolahan Daging dan Unit Pengolahan Susu.
Unit usaha lainnya Usaha Pengolahan Telur, Ritel dan Kios Daging, Gudang Berpendingin, Gudang Kering, Usaha Penampungan Susu, Usaha Pengumpulan, Pengemasan dan Pelabelan Konsumsi, Usaha Penanganan atau Pengolahan Madu, Usaha Pencucian Sarang Burung Walet, Usaha Pengolahan Produk Hewan Nonpangan, Usaha Pengolahan Produk Pangan Asal Hewan dan Usaha Pengolahan Sarang Burung Walet.
“Kita ketahui produk hewan ini memiliki berbagai macam produk konsumsi untuk manusia, bisa dalam kondisi segar, diolah dan produk-produk non-pangan. Di dalam pengelolaan atau kepentingan kita berkaitan dengan kesehatan masyarakat veteriner, maka produk-produk tersebut selain layak secara fisik menarik untuk dikonsumsi atau digunakan, maka dari sisi aspek keamanan sebagai hal yang selalu diperhatikan,” katanya.
Menyampaikan topik “Nomor Kontrol Veteriner (NKV) Jaminan Keamanan dan Kesehatan Produk Asal Hewan di Tengah Pandemi COVID-19″, Widagdo mengaku mendapat banyak pertanyaan sebelum webinar di saat pandemi Covid-19, apakah produk-produk asal hewan ini menular? Menurutnya setidaknya dari April 2020 data WHO dan FAO belum ada data atau bukti-bukti yang mendukung bahwa penularan Covid-19 melalui penularan (transmisi) dari makanan atau kemasan.
“Ini yang perlu digarisbawahi. Meski kita dengar RPH di Jerman banyak yang positif juga di Spanyol, tetapi yang menjadi kunci transmisi adalah dari pekerja itu sendiri atau orang-orang yang bekerja disana. Aktivitasnya cukup padat sehingga penularan tetap terjadi. Soal produknya hingga kini belum ada informasi yang membuktikan ditrnasmisikan melalui makanan,” paparnya.
Sementara itu, Prof. Dr. drh. Michael Haryadi Wibowo, M.P, dari Departemen Mikrobiologi, FKH UGM sebagai pembicara kedua mengangkat topik “Coronavirus dan Penyakit Unggas, Kewaspadaan, Pencegahan dan Diagnosa”. Dia mengatakan virus corona ini ada yang beramplop dan tidak. Virus beramplop ini dari lemak atau dengan susunan lipit lemak, dan virus ini memiliki kelemahan mudah dirusak oleh pelarut-pelarut lemak, seperti sabun dan lain-lain.
“Makanya selalu ada anjuran untuk cuci tangan dengan sabun salah satunya, itu untuk virus beramplop yang dari lemak, ketika dicuci dengan sabuk lemak ini akan rusak. Saat rusak maka spike atau penonjolan protein (spike protein), sebagai tempat duduknya inang (reseptor) akan rusak. Menjadikan virus ini tidak fungsional lagi, tak bisa menginveski lagi karena untuk bisa menginveksi harus berikatan,” tuturnya.
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Prof. Dr. drh. Siti Isrina Oktavia Salasia, mengatakan webinar pengabdian masyarakat secara luas dengan tema jaminan keamanan produk asal hewan dan implikasinya terhadap perekonomian masyarakat terdampak pandemi dalam rangka peringatan Dies UGM ke-74. Webinar diikuti lebih dari 200 peserta terdiri dari para peternak, dinas, mahasiswa, dan praktisi dokter hewan.
“Kita memang tidak mengira sejak 6 bulan yang lalu, tiba-tiba mengalami hal-hal yang sangat mengejutkan, segala sesuatu berubah dengan sangat cepat. Pandemi covid dampaknya tidak hanya di kampus. Meski kampus sepi kita tetap melaksanakan aktivitas online, termasuk kali ini menyelenggarakan pengabdian pada masyarakat dalam rangka kepedulian akibat pandemi Covid-19,” katanya.
Penulis : Agung Nugroho